Semua Ingin
Sekolah, Bukan Game
Matanya
mengerjap perlahan, disusul tangannya yang mengucek-ucek mata, lalu ia menarik
selimut yang masih setia membungkus badannya yang kurus. Matanya masih sangat
berat untuk dibuka. Apalagi, gravitasi bumi yang seolah bertambah sepuluh kali
lipat saat dirinya berada dikasur. Fyuh, ini pasti karena tadi kemarin ia
bermain game hingga larut malam.
Ya,
Ariesto Bintang Hajufa namanya. Bocah laki-laki berumur 14 tahun yang kerap
disapa Ariesto itu memang sangat kecanduan dengan yang berhubungan dengan game. Mulai dari PlayStation, berbagai jenis game
online, sampai game-game yang ada
di ponsel canggihnya.
Sayangnya,
Ariesto tidak cukup bijak dalam membagi waktunya. Ia menghabiskan hampir
seluruh waktunya untuk bermain game. Bahkan,
saat jam belajar di sekolah pun ia pakai untuk diam-diam bermain game di bawah meja. Beberapa kali ia
sudah tertangkap basah, ponsel canggihnya juga sudah sering disita, namun ia
tidak pernah kapok. Tidak hanya itu saja pokok masalahnya, tetapi terkadang ia
bocah laki-laki itu diam-diam membolos sekolah demi bermain game. Baginya, game sudah di atas segala-galanya. Bahkan di atas pelajaran
sekolah.
“Ariesto!
Bangun! Sudah pukul enam lebih!” seru Mama dari luar kamar. Karena tak kunjung
mendapat respon yang diinginkan dari anak semata wayangnya, Mama membuka pintu
kamar Ariesto dan berkacak pinggang.
“Ayolah,
Ariesto! Minggu lalu kau sudah tidak masuk sekolah karena ketiduran, kan!” kata
Mama yang sudah paham dengan perilaku Ariesto. Sudah berkali-kali Mama mencoba
mengubah sikap anaknya, namun hasilnya tetap nihil.
“Umh,
Ariesto masih mengantuk, Mama!” keluh Ariesto dengan nada malas.
Mama
hendak marah, tetapi beberapa sepersekian menit kemudian, timbul sepercik
senyum di bibirnya. “Oh, Ariesto tidak ingin sekolah hari ini?”
“Iya,
Mama,” jawab Ariesto sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Baiklah.
Tapi, kamu sekarang harus bergegas mandi, lalu pakai baju yang rapi tetapi
santai. Kita akan jalan-jalan,” kata Mama sambil bersiap melangkah pergi dari
kamar Ariesto.
Mendengar
perkataan Mama yang berbeda dengan biasanya, Ariesto langsung duduk terjaga. “Hah?
Jalan-jalan? Serius, Ma? Tidak sekolah? Tidak pelajaran? Main?” Ariesto
langsung bertanya pada Mama secara bertubi-tubi. Bahkan, kecepatan bicaranya
mungkin lebih cepat dari kecepatan roket yang dipakai Neil Amstrong saat menuju
ke bulan.
“Iya,
kamu tidak salah dengar,” jawab Mama sambil tersenyum hangat. “Tetapi,
jalan-jalan kita kali ini tidak seperti jalan-jalan biasanya. Lihat saja
nanti,” lanjut Mama.
“Uh,
baiklah,” kata Ariesto pada akhirnya. Ia tahu, jika sudah seperti ini, pasti
Mama tidak akan memberi tahu dan memilih menyimpan kejutan rapat-rapat walaupun
Ariesto berusaha sekeras-kerasnya.
Ah, tak apalah, yang
penting tidak sekolah, batin Ariesto. Sebenarnya, kali ini ia
sendiri merasa senang sekaligus sedih. Senang karena tidak sekolah dan sedih
karena tidak bisa bermain game di
rumah karena diajak jalan-jalan.
Segera
Ariesto menuruti kata-kata yang terlontar dari Mama. Ia segera mandi dan
berganti baju. Ia memakai kaos berwarna biru dan celana jeans. Ya, seperti kata
Mama, rapi tetapi santai.
Setelah
itu, Ariesto pun turun dari lantai atas dan menemui Mama. Huft, hatinya sudah
berdebar-debar membayangkan kejutan apa yang akan disiapkan Mama. Apakah Mama
akan mengajaknya ke TimeZone? Atau ke
toko game? Atau malah ke pusat
pembuatan game? Ia sudah sampai
senyum-senyum sendiri membayangkan semua itu.
“Sudah
siap?” tanya Mama.
Ariesto
mengacungkan jempol. “Sudah, dong, Ma!”
“Nah,
sekarang bantu Mama memindahkan barang-barang ini ke garasi mobil,” ujar Mama.
Ariesto mengerutkan keningnya. Mengapa Mama
membawa banyak pakaian bekas dan alat tulis? ucapnya dalam hati.
Tapi, Ma, sebenarnya Mama mau mengajak Ariesto
ke mana, sih?” tanya Ariesto dengan ekspresi penasaran. Matanya membulat lebar.
“Lihat
saja nanti. Pokoknya, Ariesto pasti suka,” jawab Mama dengan ekspresi
misterius. Ariesto mendesah. Ugh, ekspresinya sama sekali tidak berpengaruh
pada jawaban Mama.
Beberapa
menit kemudian, Mama dan Ariesto berangkat. Selama di perjalanan, Ariesto hanya
melamun melihat ke luar jendela. Ia menyadari, semakin lama mobil yang ia naiki
menuju ke daerah kumuh di kotanya.
Akhirnya,
Mama dan Ariesto sudah sampai. Ternyata, Mamanya bukan mengajak Ariesto ke tempat
bermain. Bukan juga toko game,
apalagi pusat pembuatan game. Harapan
Ariesto pupus. Ia sudah tidak semangat lagi. Ya, tempat yang dimaksud Mama
ternyata adalah pemukiman kumuh.
“Ma,
kok ke sini, sih?” protes Ariesto dengan tidak bersemangat.
“Seru,
kan? Yuk, kita ke rumah salah satu warga. Mama udah ke sini, kok, beberapa hari
lalu,” ujar Mama sambil tersenyum lebar. “Oh, iya, ayo bantu Mama membawa
kardus yang berisi buku, ya!”
Ariesto mengangguk patah semangat.
Ia membawa sekardus buku. Sementara itu, Mama membawa kardus satunya lagi yang
berisi pakaian bekas. Lalu, Ariesto mengikuti Mama yang menuju ke suatu gubuk.
Tok! Tok! Tok! Mama mengetuk pintu
gubuk tua itu. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur
setahun di bawah Ariesto membukakan pintu. Baju anak itu kotor, beberapa bagian
pada celananya bahkan sudah robek. Tangannya tampak membawa sebuah buku tentang
astronomi.
“Ooh, Ibu yang beberapa hari lalu ke
sini, ya? Ayo, silakan masuk,” sambut anak laki-laki itu sambil tersenyum
manis. Anak itu juga tersenyum pada Ariesto. Mau tak mau, Ariesto balas
tersenyum walau hatinya masih jengkel.
“Iya. Terima kasih,” balas Mama.
Mama dan Ariesto pun masuk ke dalam gubuk itu.
Ketika
melangkahkan kaki ke dalam, tampak sebelas anak sebaya yang duduk melingkar.
Mereka sedang menyoretkan pena di atas selembar kertas. Sepertinya, mereka sedang
belajar. Tetapi, kenapa tidak di sekolah?
“Permisi,
maaf mengganggu,” kata Mama sambil tersenyum di hadapan anak-anak itu. Sebelas anak
yang semula terfokus pada kertas di depan mereka masing-masing pun menoleh dan
bergegas berdiri, lalu menyalami tangan Mama. Sementara itu, Ariesto hanya
berdiri mematung sambil membawa kardus.
“Maaf
mengganggu. Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini untuk memberikan pakaian
dan buku untuk kalian semua, sekaligus mengenalkan anak laki-laki saya yang
seumuran dengan kalian, Ariesto,” jelas Mama dengan senyum manisnya di depan
anak-anak tadi.
Anak-anak
yang ada di gubuk itu sontak langsung melihat ke arah Ariesto dan tersenyum
manis. Sementara itu, Ariesto ikut mengukir senyum di bibirnya meski tubuhnya
bergetar, ia sangat gugup.
“Ayo,
Ariesto, bantu Mama membagikan buku pada mereka. Masing-masing dua, ya!” kata
Mama pada Ariesto.
Ariesto
mengangguk kaku dan membagikan buku-buku pada anak-anak di situ. Wah, wajah
mereka tampak berseri ketika menerima buku dari Ariesto. Melihat hal itu,
timbul secercah kebahagiaan di hati kecilnya. Sejenak, ia melupakan tentang game dan harapannya yang tadi tidak
terwujud.
Setelah
selesai membagikan buku, Ariesto mendekati salah seorang bocah laki-laki
sebayanya. “Hai, namamu siapa?” tanya Ariesto pada anak itu.
“Namaku
Bagas,” jawab anak itu yang ternyata bernama Bagas.
“Apa
yang sedang kalian lakukan di sini?” ucap Ariesto.
“Kami
sedang belajar,” ujar Bagas dengan semangat.
“Kenapa
tidak di sekolah?” Ariesto bertanya dengan ekspresi bingung. Kedua alisnya
tertekuk dan tepaut menjadi satu.
Air
muka Bagas yang semulanya bahagia tiba-tiba berubah drastis. Matanya
menunjukkan bahwa ia sangat terpuruk. “Kami semua ingin sekolah. Sangat ingin.
Sangat. Tapi apa daya? Bahkan untuk membeli sebuah buku tulis saja kami harus
berjuang mati-matian.”
Ariesto
menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajah sedih Bagas. Ia menjadi tidak
enak hati telah bertanya hal yang mungkin sensitif bagi kawan barunya itu.
“Maafkan aku yang sudah bertanya seperti itu.”
Bagas
tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, aku sudah biasa. Percayalah, aku memang
benar-benar ingin sekolah jika aku punya biaya. Tapi, aku sudah bersyukur bisa
memegang buku walau hanya dari sumbangan orang dan mempelajarinya. Aku suka
menuntut ilmu. Setiap pagi, aku dan teman-temanku berkumpul di tempat ini untuk
belajar bersama. Siangnya, kami berjualan koran di perempatan lampu merah.”
“Hm,
apakah kau tidak pernah berpikir bahwa sekolah itu membosankan? Belum lagi jika
kau sedang malas-malasnya,” tanya Ariesto.
“Tentu
saja aku pernah berpikir seperti itu. Bahkan, kami juga pernah bosan dan lelah
belajar. Tapi, aku lebih baik menanggung lelahnya belajar di masa muda daripada
menanggung perihnya kebodohan di masa yang akan datang. Aku ingin menjadi orang
sukses dan membahagiakan kedua orang tuaku,” jelas Bagas.
Lebih baik menanggung
lelahnya belajar di masa muda daripada menanngung perihnya kebodohan di masa
yang akan datang. Ariesto terperanjat mendengar
perkataan kawan barunya itu. Kata-katanya seolah telah menampar hati kecil
Ariesto. Di dalam hati Ariesto, ada rasa bersalah yang teramat besar.
Ariesto
sadar. Selama ini, ia telah membuang-buang waktu untuk mengerjakan kegiatan
yang amat tidak penting dan tidak bermanfaat untuk masa depan. Selama ini, ia
selalu menyepelekan sekolah. Selama ini, ia sangat jarang belajar. Selama ini,
tidak pernah sedikitpun ia memikirkan masa depan.
Ariesto
sadar, banyak di luar sana yang menginginkan sekolah. Sementara ia di sini? Ia
di sini yang bisa sekolah justru menyia-nyiakan kesempatan untuk mengukir masa
depan itu dan memilih bermain game.
Sungguh, ia menyesal.
Mulai
detik ini, Ariesto berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan belajar dan membagi
waktu dengan bijak. Seorang laki-laki kurus berumur 14 tahun ini berjanji.
Sungguh.
“Ariesto?”
Seseorang menepuk pundak Ariesto. Ariesto yang sedang melamun spontan telonjak
kaget.
“Kok
melamun? Ayo, sudah saatnya pulang,” ajak Mama. Ariesto mengangguk sambil tersenyum
manis.
Ya,
hari ini adalah hari di mana Ariesto berjanji pada dirinya, ia tak akan lagi
menyia-nyiakan sekolah. Hari ini adalah hari di mana Ariesto menyadari
kesalahannya selama ini. Hari ini adalah hari terakhir ia membolos sekolah
hanya karena malas dan ingin bermain game.
10
tahun kemudian...
Pria
gagah berjas hitam melangkah masuk ke teras rumah lamanya. Aroma khas langsung
tercium di indra penciumannya. Aroma rerumputan basah membuat pikirannya yang
akhir-akhir ini berat menjadi lebih ringan.
Ia menarik bibirnya lebar-lebar.
Jantungnya berpacu lebih kencang. Dia menarik nafas dan mengetuk pintu
perlahan-lahan.
Seorang wanita paruh baya membukakan
pintu. Mata wanita tersebut langsung melebar, lalu menyunggingkan senyum. Spontan,
sang pria muda langsung memeluk wanita nomor satu yang berada di depannya ini.
“Bagaimana kabar Mama?” tanya pria
itu sambil menitikkan air mata haru. Sudah hampir 4 tahun ia tidak bertemu
Mamanya karena menuntut ilmu di negeri seberang.
“Alhamdulillah, baik. Mama sangat
rindu dengan Ariesto,” jawab Mama.
“Apalagi Ariesto,” ujar pria muda
yang tak lain adalah Ariesto.
Ya, saat ini, Ariesto telah berhasil
menyelesaikan pendidikannya di Jerman. Ia mengambil jurusan teknik mesin.
“Ayo, kamu pasti capek, kan, Nak?”
tanya Mama. Ariesto mengangguk sambil tersenyum sumringah.
Ariesto dan Mama pun menuju ke kamar
masa kecil Ariesto, kamar yang menyimpan sejuta pengalaman.
“Sebentar ya, Nak. Mama tadi sedang
masak,” ucap Mama.
“Baik, Ma,” ujar Ariesto.
Ariesto lalu duduk di kasurnya.
Pandangannya menyapu sekeliling. Masih sama seperti dahulu. Hanya saja, kini
kamarnya tampak lebih rapi dan sepi tentu saja.
Ariesto membuka rak yang terletak
tepat di sebelah kasurnya. Tampak tersusun rapi berbagai jenis media elektronik
untuk bermain game. Ia tersenyum. Pikirannya melayang pada 10 tahun yang lalu.
Ah, ya, untung saja dulu dirinya
tersadar. Ya, tersadar bahwa sekolah itu penting. Kalau tidak, ia tidak akan
bisa menjadi dirinya yang sekarang.
Sedetik kemudian, Ariesto tersadar
akan suatu hal. Bagaimana Bagas sekarang? Sampai kapanpun, Ariesto akan selalu
ingat pada orang yang berhasil mengubahnya menjadi lebih baik. Ia tersenyum. Ia
yakin, saat ini Bagas pasti telah berhasil menjadi orang sukses.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar