Selamat Datang diblog Desti Balqis

Sabtu, 28 Oktober 2017

Cerpen: Semua Ingin Sekolah, Bukan Game



Semua Ingin Sekolah, Bukan Game

Matanya mengerjap perlahan, disusul tangannya yang mengucek-ucek mata, lalu ia menarik selimut yang masih setia membungkus badannya yang kurus. Matanya masih sangat berat untuk dibuka. Apalagi, gravitasi bumi yang seolah bertambah sepuluh kali lipat saat dirinya berada dikasur. Fyuh, ini pasti karena tadi kemarin ia bermain game hingga larut malam.
Ya, Ariesto Bintang Hajufa namanya. Bocah laki-laki berumur 14 tahun yang kerap disapa Ariesto itu memang sangat kecanduan dengan yang berhubungan dengan game. Mulai dari PlayStation, berbagai jenis game online, sampai game-game yang ada di ponsel canggihnya.
Sayangnya, Ariesto tidak cukup bijak dalam membagi waktunya. Ia menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bermain game. Bahkan, saat jam belajar di sekolah pun ia pakai untuk diam-diam bermain game di bawah meja. Beberapa kali ia sudah tertangkap basah, ponsel canggihnya juga sudah sering disita, namun ia tidak pernah kapok. Tidak hanya itu saja pokok masalahnya, tetapi terkadang ia bocah laki-laki itu diam-diam membolos sekolah demi bermain game. Baginya, game sudah di atas segala-galanya. Bahkan di atas pelajaran sekolah.
“Ariesto! Bangun! Sudah pukul enam lebih!” seru Mama dari luar kamar. Karena tak kunjung mendapat respon yang diinginkan dari anak semata wayangnya, Mama membuka pintu kamar Ariesto dan berkacak pinggang.
“Ayolah, Ariesto! Minggu lalu kau sudah tidak masuk sekolah karena ketiduran, kan!” kata Mama yang sudah paham dengan perilaku Ariesto. Sudah berkali-kali Mama mencoba mengubah sikap anaknya, namun hasilnya tetap nihil.
“Umh, Ariesto masih mengantuk, Mama!” keluh Ariesto dengan nada malas.
Mama hendak marah, tetapi beberapa sepersekian menit kemudian, timbul sepercik senyum di bibirnya. “Oh, Ariesto tidak ingin sekolah hari ini?”
“Iya, Mama,” jawab Ariesto sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Baiklah. Tapi, kamu sekarang harus bergegas mandi, lalu pakai baju yang rapi tetapi santai. Kita akan jalan-jalan,” kata Mama sambil bersiap melangkah pergi dari kamar Ariesto.
Mendengar perkataan Mama yang berbeda dengan biasanya, Ariesto langsung duduk terjaga. “Hah? Jalan-jalan? Serius, Ma? Tidak sekolah? Tidak pelajaran? Main?” Ariesto langsung bertanya pada Mama secara bertubi-tubi. Bahkan, kecepatan bicaranya mungkin lebih cepat dari kecepatan roket yang dipakai Neil Amstrong saat menuju ke bulan.
“Iya, kamu tidak salah dengar,” jawab Mama sambil tersenyum hangat. “Tetapi, jalan-jalan kita kali ini tidak seperti jalan-jalan biasanya. Lihat saja nanti,” lanjut Mama.
“Uh, baiklah,” kata Ariesto pada akhirnya. Ia tahu, jika sudah seperti ini, pasti Mama tidak akan memberi tahu dan memilih menyimpan kejutan rapat-rapat walaupun Ariesto berusaha sekeras-kerasnya.
Ah, tak apalah, yang penting tidak sekolah, batin Ariesto. Sebenarnya, kali ini ia sendiri merasa senang sekaligus sedih. Senang karena tidak sekolah dan sedih karena tidak bisa bermain game di rumah karena diajak jalan-jalan.
Segera Ariesto menuruti kata-kata yang terlontar dari Mama. Ia segera mandi dan berganti baju. Ia memakai kaos berwarna biru dan celana jeans. Ya, seperti kata Mama, rapi tetapi santai.
Setelah itu, Ariesto pun turun dari lantai atas dan menemui Mama. Huft, hatinya sudah berdebar-debar membayangkan kejutan apa yang akan disiapkan Mama. Apakah Mama akan mengajaknya ke TimeZone? Atau ke toko game? Atau malah ke pusat pembuatan game? Ia sudah sampai senyum-senyum sendiri membayangkan semua itu.
“Sudah siap?” tanya Mama.
Ariesto mengacungkan jempol. “Sudah, dong, Ma!”
“Nah, sekarang bantu Mama memindahkan barang-barang ini ke garasi mobil,” ujar Mama. Ariesto mengerutkan keningnya. Mengapa Mama membawa banyak pakaian bekas dan alat tulis? ucapnya dalam hati.
 Tapi, Ma, sebenarnya Mama mau mengajak Ariesto ke mana, sih?” tanya Ariesto dengan ekspresi penasaran. Matanya membulat lebar.
“Lihat saja nanti. Pokoknya, Ariesto pasti suka,” jawab Mama dengan ekspresi misterius. Ariesto mendesah. Ugh, ekspresinya sama sekali tidak berpengaruh pada jawaban Mama.
Beberapa menit kemudian, Mama dan Ariesto berangkat. Selama di perjalanan, Ariesto hanya melamun melihat ke luar jendela. Ia menyadari, semakin lama mobil yang ia naiki menuju ke daerah kumuh di kotanya.
Akhirnya, Mama dan Ariesto sudah sampai. Ternyata, Mamanya bukan mengajak Ariesto ke tempat bermain. Bukan juga toko game, apalagi pusat pembuatan game. Harapan Ariesto pupus. Ia sudah tidak semangat lagi. Ya, tempat yang dimaksud Mama ternyata adalah pemukiman kumuh.
“Ma, kok ke sini, sih?” protes Ariesto dengan tidak bersemangat.
“Seru, kan? Yuk, kita ke rumah salah satu warga. Mama udah ke sini, kok, beberapa hari lalu,” ujar Mama sambil tersenyum lebar. “Oh, iya, ayo bantu Mama membawa kardus yang berisi buku, ya!”
            Ariesto mengangguk patah semangat. Ia membawa sekardus buku. Sementara itu, Mama membawa kardus satunya lagi yang berisi pakaian bekas. Lalu, Ariesto mengikuti Mama yang menuju ke suatu gubuk.
            Tok! Tok! Tok! Mama mengetuk pintu gubuk tua itu. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur setahun di bawah Ariesto membukakan pintu. Baju anak itu kotor, beberapa bagian pada celananya bahkan sudah robek. Tangannya tampak membawa sebuah buku tentang astronomi.
            “Ooh, Ibu yang beberapa hari lalu ke sini, ya? Ayo, silakan masuk,” sambut anak laki-laki itu sambil tersenyum manis. Anak itu juga tersenyum pada Ariesto. Mau tak mau, Ariesto balas tersenyum walau hatinya masih jengkel.
            “Iya. Terima kasih,” balas Mama. Mama dan Ariesto pun masuk ke dalam gubuk itu.
Ketika melangkahkan kaki ke dalam, tampak sebelas anak sebaya yang duduk melingkar. Mereka sedang menyoretkan pena di atas selembar kertas. Sepertinya, mereka sedang belajar. Tetapi, kenapa tidak di sekolah?
“Permisi, maaf mengganggu,” kata Mama sambil tersenyum di hadapan anak-anak itu. Sebelas anak yang semula terfokus pada kertas di depan mereka masing-masing pun menoleh dan bergegas berdiri, lalu menyalami tangan Mama. Sementara itu, Ariesto hanya berdiri mematung sambil membawa kardus.
“Maaf mengganggu. Sebenarnya maksud kedatangan saya ke sini untuk memberikan pakaian dan buku untuk kalian semua, sekaligus mengenalkan anak laki-laki saya yang seumuran dengan kalian, Ariesto,” jelas Mama dengan senyum manisnya di depan anak-anak tadi.
Anak-anak yang ada di gubuk itu sontak langsung melihat ke arah Ariesto dan tersenyum manis. Sementara itu, Ariesto ikut mengukir senyum di bibirnya meski tubuhnya bergetar, ia sangat gugup.
“Ayo, Ariesto, bantu Mama membagikan buku pada mereka. Masing-masing dua, ya!” kata Mama pada Ariesto.
Ariesto mengangguk kaku dan membagikan buku-buku pada anak-anak di situ. Wah, wajah mereka tampak berseri ketika menerima buku dari Ariesto. Melihat hal itu, timbul secercah kebahagiaan di hati kecilnya. Sejenak, ia melupakan tentang game dan harapannya yang tadi tidak terwujud.
Setelah selesai membagikan buku, Ariesto mendekati salah seorang bocah laki-laki sebayanya. “Hai, namamu siapa?” tanya Ariesto pada anak itu.
“Namaku Bagas,” jawab anak itu yang ternyata bernama Bagas.
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?” ucap Ariesto.
“Kami sedang belajar,” ujar Bagas dengan semangat.
“Kenapa tidak di sekolah?” Ariesto bertanya dengan ekspresi bingung. Kedua alisnya tertekuk dan tepaut menjadi satu.
Air muka Bagas yang semulanya bahagia tiba-tiba berubah drastis. Matanya menunjukkan bahwa ia sangat terpuruk. “Kami semua ingin sekolah. Sangat ingin. Sangat. Tapi apa daya? Bahkan untuk membeli sebuah buku tulis saja kami harus berjuang mati-matian.”
Ariesto menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajah sedih Bagas. Ia menjadi tidak enak hati telah bertanya hal yang mungkin sensitif bagi kawan barunya itu. “Maafkan aku yang sudah bertanya seperti itu.”
Bagas tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, aku sudah biasa. Percayalah, aku memang benar-benar ingin sekolah jika aku punya biaya. Tapi, aku sudah bersyukur bisa memegang buku walau hanya dari sumbangan orang dan mempelajarinya. Aku suka menuntut ilmu. Setiap pagi, aku dan teman-temanku berkumpul di tempat ini untuk belajar bersama. Siangnya, kami berjualan koran di perempatan lampu merah.”
“Hm, apakah kau tidak pernah berpikir bahwa sekolah itu membosankan? Belum lagi jika kau sedang malas-malasnya,” tanya Ariesto.
“Tentu saja aku pernah berpikir seperti itu. Bahkan, kami juga pernah bosan dan lelah belajar. Tapi, aku lebih baik menanggung lelahnya belajar di masa muda daripada menanggung perihnya kebodohan di masa yang akan datang. Aku ingin menjadi orang sukses dan membahagiakan kedua orang tuaku,” jelas Bagas.
Lebih baik menanggung lelahnya belajar di masa muda daripada menanngung perihnya kebodohan di masa yang akan datang. Ariesto terperanjat mendengar perkataan kawan barunya itu. Kata-katanya seolah telah menampar hati kecil Ariesto. Di dalam hati Ariesto, ada rasa bersalah yang teramat besar.
Ariesto sadar. Selama ini, ia telah membuang-buang waktu untuk mengerjakan kegiatan yang amat tidak penting dan tidak bermanfaat untuk masa depan. Selama ini, ia selalu menyepelekan sekolah. Selama ini, ia sangat jarang belajar. Selama ini, tidak pernah sedikitpun ia memikirkan masa depan.
Ariesto sadar, banyak di luar sana yang menginginkan sekolah. Sementara ia di sini? Ia di sini yang bisa sekolah justru menyia-nyiakan kesempatan untuk mengukir masa depan itu dan memilih bermain game. Sungguh, ia menyesal.
Mulai detik ini, Ariesto berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan belajar dan membagi waktu dengan bijak. Seorang laki-laki kurus berumur 14 tahun ini berjanji. Sungguh.
“Ariesto?” Seseorang menepuk pundak Ariesto. Ariesto yang sedang melamun spontan telonjak kaget.
“Kok melamun? Ayo, sudah saatnya pulang,” ajak Mama. Ariesto mengangguk sambil tersenyum manis.
Ya, hari ini adalah hari di mana Ariesto berjanji pada dirinya, ia tak akan lagi menyia-nyiakan sekolah. Hari ini adalah hari di mana Ariesto menyadari kesalahannya selama ini. Hari ini adalah hari terakhir ia membolos sekolah hanya karena malas dan ingin bermain game.
10 tahun kemudian...
Pria gagah berjas hitam melangkah masuk ke teras rumah lamanya. Aroma khas langsung tercium di indra penciumannya. Aroma rerumputan basah membuat pikirannya yang akhir-akhir ini berat menjadi lebih ringan.
            Ia menarik bibirnya lebar-lebar. Jantungnya berpacu lebih kencang. Dia menarik nafas dan mengetuk pintu perlahan-lahan.
            Seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Mata wanita tersebut langsung melebar, lalu menyunggingkan senyum. Spontan, sang pria muda langsung memeluk wanita nomor satu yang berada di depannya ini.
            “Bagaimana kabar Mama?” tanya pria itu sambil menitikkan air mata haru. Sudah hampir 4 tahun ia tidak bertemu Mamanya karena menuntut ilmu di negeri seberang.
            “Alhamdulillah, baik. Mama sangat rindu dengan Ariesto,” jawab Mama.
            “Apalagi Ariesto,” ujar pria muda yang tak lain adalah Ariesto.
            Ya, saat ini, Ariesto telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jerman. Ia mengambil jurusan teknik mesin.
            “Ayo, kamu pasti capek, kan, Nak?” tanya Mama. Ariesto mengangguk sambil tersenyum sumringah.
            Ariesto dan Mama pun menuju ke kamar masa kecil Ariesto, kamar yang menyimpan sejuta pengalaman.
            “Sebentar ya, Nak. Mama tadi sedang masak,” ucap Mama.
            “Baik, Ma,” ujar Ariesto.
            Ariesto lalu duduk di kasurnya. Pandangannya menyapu sekeliling. Masih sama seperti dahulu. Hanya saja, kini kamarnya tampak lebih rapi dan sepi tentu saja.
            Ariesto membuka rak yang terletak tepat di sebelah kasurnya. Tampak tersusun rapi berbagai jenis media elektronik untuk bermain game. Ia tersenyum. Pikirannya melayang pada 10 tahun yang lalu.
            Ah, ya, untung saja dulu dirinya tersadar. Ya, tersadar bahwa sekolah itu penting. Kalau tidak, ia tidak akan bisa menjadi dirinya yang sekarang.
            Sedetik kemudian, Ariesto tersadar akan suatu hal. Bagaimana Bagas sekarang? Sampai kapanpun, Ariesto akan selalu ingat pada orang yang berhasil mengubahnya menjadi lebih baik. Ia tersenyum. Ia yakin, saat ini Bagas pasti telah berhasil menjadi orang sukses.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar