MISTERI BATU CAHAYA
Baron, Bayu, Vey, dan Intan. Mereka berempat
merupakan sekelompok detektif cilik yang sudah dikenal di kampong mereka.
Kelompok detektif mereka bernama The Twobevi yang merupakan singkatan dari
inisial nama mereka berempat yaitu Two B, V, dan I. Mereka sekarang sedang berkumpul di markas kecil milik mereka.
Markas mereka sebenarnya merupakan sebuah gudang milik keluarga Bayu yang
direnovasi menjadi sebuah ruangan yang indah. Keluarga Bayu dengan senang
bersedia memberikan gudang tersebut kepada The Twobevi. Lagipula, tempat
tersebut terlalu jauh dari rumah keluarga Bayu walaupun masih dalam satu desa.
Sementara yang merenovasi adalah The Twobevi sendiri.
“Huft, apa kalian tidak bosan?” tanya Baron yang
berkali-kali menguap bosan.
“Aku sangat bosan. Andai saja kita
dapat kasus,” jawab Vey sambil memainkan rubiknya.
Tiba-tiba, ide cemerlang melintas di
otak Bayu. “Main di hutan buatan belakang markas kita, yuk!”
“Main apa?” tanya Intan sambil
menuangkan jus jeruk ke gelasnya.
“Kotak pos,” jawab Bayu.
Semua setuju. Baron, Bayu, Vey, dan
Intan bersama-sama menuju hutan buatan belakang markas mereka dengan semangat
sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Hutan buatan itu tidak terlalu besar dan tidak
ada hewan buas di dalamnya.
“Hompimpa alaium gambreng!” Mereka
berempat berhompimpa untuk menentukan siapa yang akan berjaga. Hasil akhir
menentukan Baron yang akan berjaga.
“Baron, kamu harus mencari aku, Vey,
dan Intan. Tapi ingat, kamu harus terus menutup matamu. Harus jujur! Jika kamu
sudah berhasil menangkap salah satu dari kami, kamu harus menyebutkan nama
kami, tetap dengan mata tertutup, ya!” jelas Bayu. “Tenang saja, setelah kamu
menghitung satu sampai tiga, kami tidak akan berpindah tempat,” tambahnya.
Baron mendengus. “Iya, aku sudah tau.”
Mereka berempat memulai permainan. Tubuh Baron
diputar sebanyak 3 kali hingga membuatnya pusing. Baron terdiam sesaat untuk
menghilangkan rasa pusingnya. “Satu… dua… tiga!” teriak Baron tiba-tiba. Bayu,
Vey, dan Intan berlari menuju tempat persembunyian masing-masing. Bayu
bersembunyi di balik semak-semak yang tinggi. Badannya tengkurap. Vey
bersembunyi di balik pohon. Tubuh Vey yang ramping sepenuhnya tertutup pohon.
Sementara Intan bersembunyi di atas
pohon mangga yang tinggi. Gerakannya lincah sehingga mudah baginya untuk
memanjat pohon yang tinggi. Sambil bersantai, Intan mengamati Baron dan memetik
mangga di sekitarnya
Baron
mengeluh dan menampakkan wajah kesalnya. “Jika seperti ini caranya, aku tidak
akan pernah menangkap satu pun dari
kalian!”
Namun, tidak ada satu pun yang membalas ucapan
Baron. Bayu, Vey, dan Intan tahu bahwa itu adalah trik Baron untuk memenangkan
permainan ini. Jika mereka bersuara, pasti dengan mudah Baron dapat menemukan
mereka. Baron memang paling pintar menyerang musuh. Bukan dengan pukulan atau
tendangan, tetapi dengan acting-nya.
Tiba-tiba, terdengar gemerisik. Seperti ada orang yang
lewat. Bayu, Vey, dan Intan saling berpandangan jarak jauh. Tidak ada satu pun
di antara mereka yang sedang bergerak, kecuali Intan yang dari tadi asyik
memetik mangga.
Baron terdiam. Ia fokus mendengar suara itu. Suara
itu justru semakin lama semakin terdengar. Dia kira, suara itu bersumber dari
teman-temannya yang sedang berjalan.
“Hei! Bukankah kalian tidak boleh berpindah tempat?”
seru Baron kesal. Tetap tidak ada yang menjawab.
Pandangan Intan menyapu sekeliling. Tiba-tiba, dia
melihat seseorang sedang berjalan di semak-semak sambil membawa tas jinjing
hitam. Tetapi, tas tersebut terlihat bercahaya, seolah ada benda memancarkan cahaya
dari dalam tas hitam itu. Intan mengernyitkan dahi. Matanya menyipit. Tangannya
berhenti memetik mangga. Ia fokus memerhatikan seseorang dengan tas hitam
memancar tersebut.
Hanya Intan yang dapat melihat orang itu karena
posisinya sekarang berada di pohon yang tinggi. Vey dan Bayu masih belum tahu
sumber suara itu. Mereka terus memperhatikan Intan dengan tatapan bingung.
Sementara Baron, ia masih menunjukkan ekspresi kesal karena tidak dapat
menemukan teman-temannya.
“Bayu! Vey! Intan!” teriak Baron. Mendengar teriakan
Baron, seseorang itu segera mencari tempat persembunyian. Seseorang itu berlari
ke arah pohon yang sedang dipanjat Intan, lalu memanjat pohon tinggi tersebut.
Intan menutup mulutnya agar tidak bersuara. Kepala orang itu tepat berada dibawah
kakinya. Untung saja orang itu tidak mengetahui keberadaan Intan.
Sosok tersebut membuka tas hitam yang ia bawa.
Tampak sebuah benda berbentuk bulat yang memancarkan cahaya. Namun, beberapa
detik setelah dikeluarkan dari tas hitam, benda bulat tersebut berhenti
memancarkan cahaya. Warnanya putih bening seperti butiran gula dengan ukuran
raksasa.
Intan
terkejut. Ia baru pertama kali melihat benda seindah itu seumur hidupnya. Pasti
harganya mahal sekali. Hampir saja ia berteriak saking terkejutnya, tapi
tangannya tetap menutup mulutnya.
“Bayu! Vey! Intan!” Baron berteriak lebih kencang
lagi.
Seseorang di bawah Intan memperhatikan sekitarnya.
Ia hanya melihat Baron. Ia segera tersadar bahwa ada orang selain Baron di
hutan buatan ini karena Baron tadi meneriakkan nama seseorang. Orang itu segera
turun dari pohon dan lari terbirit-birit menuju arah utara. Aneh sekali orang itu, batin Intan. Tetapi sepertinya ini bisa menjadi sebuah
kasus. Senyum kecil mengembang di bibir Intan.
Segera Intan turun dari pohon. “Teman-teman,
permainan selesai! Ayo kita kembali ke markas kita!” seru Intan.
“Ya, lebih baik begitu karena aku tidak akan dapat
menemukan kalian,” ujar Baron sambil membuka matanya dengan ekspresi kesal.
Bayu dan Vey keluar dari tempat persembunyian
masing-masing dan berjalan menuju Intan dan Baron. “Tapi kenapa, Tan?
Permainannya belum selesai,” tanya Vey.
“Aku baru saja menemukan sesuatu yang ganjil,” jawab
Intan.
“Yasudah. Ayo!” ujar Vey dan Bayu meski belum puas
bermain.
Sampai di markas, The Twobevi duduk di kursi yang
mengelilingi meja. Semua anggota The Twobevi sudah mempunyai kursi
masing-masing. Rapat akan dimulai. Seperti inilah biasanya jika The Twobevi
mendapat kasus atau menemukan sesuatu yang ganjil.
“Memang ada apa, sih, Tan?” tanya Baron sambil
menuangkan jus jeruk ke gelasnya. Kerongkongannya terasa kering setelah
berteriak-teriak tadi.
Intan menjelaskan kejadian yang ia alami tadi.
Baron, Bayu, dan Vey mengangguk-angguk paham. Bayu dan Vey juga sedikit curiga
dengan suara langkah kaki tadi.
“Aku kira suara itu berasal dari salah satu di
antara kalian,” celetuk Baron. Bayu, Vey, dan Intan menggeleng.
“Tapi, bagaimana kita akan menyelidiki kasus ini?
Bahkan kita pun tidak tahu ke mana orang itu pergi,” kata Vey putus asa.
“Aku yakin kita bisa, kok! Bayu, coba kamu catat
yang kita tahu soal kejadian tadi. Siapa tahu berguna,” sahut Intan. Bayu
segera membuat daftar berisi hal-hal ganjil tadi.
Besoknya…
The Twobevi rapat untuk membahas kejadian kemarin di
hutan buatan. Saat dengan asyik rapat, tiba-tiba pintu markas mereka diketuk.
Baron, Bayu, Vey, dan Intan saling berpandangan. Di detik berikutnya, Baron
beranjak dari kursinya dan membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah Bu
Siti. Rumah Bu Siti berada di dekat markas The Twobevi, hanya dibatasi dengan
hutan buatan.
“Oh, Bu Siti. Silakan masuk dulu, Bu,” sambut Baron
dengan ramah. Bu Siti duduk di kursi sebelah Intan.
“Ada perihal apa, Bu Siti?” tanya Bayu bersiap-siap
mencatat.
“Jadi begini. Sejak seminggu yang lalu, saya bersama
keluarga pergi ke Bali dan baru pulang tadi malam. Tetapi tadi pagi, saat saya
mencari permata milik saya, benda tersebut tidak ada di lemari saya. Pintu
lemari terbuka lebar. Padahal, sebelum berangkat saya ingat sudah mengunci
rapat-rapat lemari itu,” jelas Bu Siti. “Sepertinya permata itu dicuri. Apakah
kalian bisa membantu saya? Kalian tidak pernah gagal terhadap kasus-kasus
pencurian seperti ini,” lanjut Bu Siti.
“Tentu saja kami akan membantu Bu Siti. Lalu, bagaimana
ciri-ciri permata tersebut?” tanya Bayu.
“Permata tersebut dapat memancarkan cahaya jika di
tempat gelap, tetapi tidak dapat memancarkan cahaya di tempat terang.” Bu Siti
mengambil nafas sejenak. Lalu melanjutkan penjelasannya. “Bentuknya bulat,
ukurannya sekepalan orang dewasa, dan warnanya bening seperti air.”
The Twobevi
terkaget-kaget. Itu benda yang dilihat Intan kemarin.
“Baik, Bu Siti. Akan segera kami selidiki,” kata
Bayu.
***
The Twobevi mengamati rumah Bu Siti. Mereka membagi
tugas. Baron memeriksa lemari tempat Bu Siti menyimpan permata bercahaya. Bayu
memeriksa tembok dan lantai kamar Bu Siti menggunakan sinar laser. Vey dan Intan
mengamati jejak pencuri di sekitar hutan buatan.
Baron tidak menemukan apa pun. Tidak
ada yang aneh dengan lemari Bu Siti. Hanya beberapa bagian berantakan, mungkin
ulah sang pencuri. Baron mengambil alat anehnya yang ia buat sendiri. Si Jenius
itu memang sangat senang membuat barang-barang aneh. Bahkan, ia pernah menjadi
peserta olimpiade fisika termuda di dunia. Ia juga pernah secara tidak sengaja meledakkan
laboratorium fisika milik sekolahnya dengan alat yang dibuatnya.
Kali ini, Baron menggunakan alat
pendeteksi sidik jari. Bentuknya tipis seperti kertas HVS. Hasil deteksinya dapat difoto. Baron
mendeteksi sidik jari pencuri di dinding lemari lalu memotretnya.
Sementara itu, Bayu menemukan
jejak-jejak yang ditinggalkan pencuri. Jejak sepatu si pencuri terukir jelas di
lantai. Bayu mencatat merk dan ukuran sepatu dari jejak tersebut. Selain itu,
ia juga menemukan rontokan rambut di lantai. Ia menyimpan rontokan rambut
tersebut di plastik kecil yang steril.
Selama 5 jam lamanya Baron dan Bayu
memeriksa rumah Bu Siti. Tidak ada lagi hal ganjil yang ditemukan mereka.
Mereka sudah memeriksa seluruh bagian rumah Bu Siti. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk kembali ke markas untuk
berdiskusi bersama Vey dan Intan.
Baron dan Bayu berpamitan dengan Bu
Siti. Selepas itu, mereka berdua kembali ke markas The Twobevi.
“Bagaimana? Di mana akhir jejak si
pencuri?” tanya Bayu sambil menutup pintu markas.
“Tempat pertunjukan sirkus,” jawab
Vey datar.
“Ya. Sepertinya dia adalah salah
satu pemain sirkus. Tidak mungkin ia datang ke sana untuk menonton pertunjukan. Permata itu terlalu
mencolok,” timpal Intan.
“Apakah kalian sudah membeli tiket
untuk menonton sirkus?” celetuk Baron.
“Di saat-saat seperti ini kita akan
menonton sirkus?” tanya Bayu sambil menyipitkan matanya.
“Tentu saja tidak. Saat semua orang
sedang sibuk menonton pertunjukan, kita bisa menyelinap untuk menyelidiki,”
jawab Baron si Jenius.
“Iya juga, ya,” gumam Vey. “Baiklah.
Besok aku beli tiket. Tadi, aku sempat lihat di papan pengumuman, satu jam yang
lalu adalah pertunjukan terakhir,” kata Vey. “Kalian jangan lupa ijin kepada
orang tua masing-masing dulu,” tambah Vey. Semua mengangguk setuju
“Oh, ya, kita juga menemukan ini,
tersangkut di batang pohon sebelah rumah Bu Siti,” ujar Intan sambil
menyodorkan topi berwarna kuning dengan garis-garis hijau.
***
Anggota The Twobevi sudah ijin ke
orangtua masing-masing. Sekarang, mereka sudah membawa tiket masuk menonton
sirkus, Vey yang membayarnya. Mereka berempat berpenampilan layaknya anak-anak
yang menonton pertunjukan sirkus biasanya agar tidak dicurigai oleh penjaga.
Pertama-tama, The Twobevi akan
menonton pembukaan sirkus. Setelah semua orang sibuk menonton, mereka akan
mengendap-endap masuk ke balik layar sirkus. Mereka yakin tidak akan ada yang
curiga melihat tampilan mereka.
Mereka berempat membagi tugas. Baron
dan Intan menonton di tribun sebelah barat, sementara Bayu dan Vey di tribun sebelah timur. Mereka
pun berpencar.
The Twobevi duduk manis seperti penonton-penonton
lainnya. Hanya saja, penonton lain asyik memerhatikan pertunjukan, sementara
The Twobevi mengamati sekitar. Mencari kejanggalan.
“Baron, itu orang yang aku lihat di
hutan buatan dua hari yang lalu!” seru Intan sambil menunjuk orang yang sedang
bermain akrobat. Gerakannya lincah sekali. Pantas saja dia bisa melewati pagar
rumah Bu Siti tanpa membukanya.
“Apa kamu sudah benar-benar yakin,
Tan? Kalau kita salah, kita yang akan kena masalah,” tanya Baron memastikan.
“Iya aku yakin. Ciri-cirinya sama
persis. Rambut botak, bertubuh kurus kering, tingginya menjulang, dan kulitnya
hitam,” jawab Intan mantap.
“Oke. Sekarang hubungi Vey dan Bayu.
Suruh mereka mengendap-endap masuk ke belakang panggung lewat arah timur. Lalu
kita segera ke sebelah barat,” ucap Baron. Intan segera menghubungi Bayu dan
Vey menggunakan alat komunikasi berbentuk bola kecil tanpa layar, namun bisa
mengeluarkan cahaya seperti layar handphone
biasa. Baron yang membuat alat itu.
Setelah Bayu dan Vey mendapat
informasi dari Baron dan Intan, mereka berempat segera menuju ke balik layar
panggung. Namun, mereka pergi berdua-dua agar tidak dicurigai. Tentu akan
mencolok apabila 4 anak bergerombol. Tidak ada yang menyadari mereka akan
memasuk ke balik layar untuk menyelidiki sebuah kasus. Para petugas yang
melihat hanya mengira mereka sedang mencari toilet dan memberi tahu letak
toilet. Tapi, itu justru memudahkan The Twobevi mencari jalan ke belakang
panggung. Ya, toilet berada tepat di sebelah pintu untuk menuju ke belakang
panggung.
Baron dan Intan akhirnya sudah
sampai di belakang panggung. Terdapat banyak hewan di sini. Ada singa, harimau,
gajah, berang-berang, dan hewan khas sirkus lainnya. Semua di kandang dalam
tempat terpisah. Singa yang melihat Baron dan Intan langsung mengaum
keras-keras seolah menemukan makanan. Intan hampir saja menjerit, untuk Baron
segera menutup mulut Intan rapat-rapat. Mereka berdua segera sembunyi di balik
salah satu kotak besar. Entah apa isi kotak besar tersebut.
“Lalu sekarang kita ke mana?” tanya
Intan.
“Kita masih harus menunggu Vey dan
Bayu. Mereka belum tahu persis muka si pencuri,” jawab Baron. Intan mengangguk
kecil.
Tak lama kemudian, Vey dan Bayu
sudah datang. Nafas mereka terengah-engah.
“Kami baru saja di kejar anjing,” ucap
Vey sambil menyeka keringat di pelipisnya.
“Hahaha. Pantas saja lama,” ujar
Intan.
“Lalu, di mana kita akan mencari
permata bercahaya itu? Seharusnya kita dapat dengan mudah menemukannya karena
batu itu dapat mengeluarkan cahaya yang amat terang,” kata Bayu.
“Iya, tapi jika dalam gelap. Kalau
dalam terang, permata itu tidak akan mengeluarkan cahaya sedikitpun.
Kemungkinan besar, permata itu dilapisi fosfor. Fosfor menyerap cahaya saat
siang dan mengeluarkan cahaya saat malam,” jelas Baron.
Tiba-tiba, saat mereka sedang
berdiskusi, sekelompok pemain sirkus datang. Spontan, Vey dan Bayu mencari
tempat untuk bersembunyi. Hanya kereta kecil yang dapat digunakan untuk
bersembunyi. Vey dan Bayu akhirnya bersembunyi di kereta kecil tersebut.
Sementara Baron dan Intan masih bersembunyi di balik kotak besar.
Para pemain sirkus tampak sedang
bercakap-cakap. Sepertinya sedang membahas rancangan acara sirkus. Beberapa
menit kemudian, 2 orang pemain sirkus memisah dari pemain sirkus lainnya. Yang
satu tampak berdandan seperti badut, tidak bisa dilihat wajah aslinya,
sementara yang satunya lagi memakai baju besar berwarna paduan kuning biru dan
membawa holahup. Mereka berjalan menuju kereta.
“Baron, lihatlah dua orang itu.
Salah satunya adalah si pencuri. Mereka berdua menuju ke kereta. Bayu dan Vey
dalam bahaya jika sampai ketahuan,” ujar Intan resah.
“Tenanglah, mereka bisa bersembunyi
di sana,” kata Baron santai sambil memotret 2 orang pemain sirkus yang sedang
berjalan sambil mengobrol menuju kereta yang digunakan Bayu dan Vey sebagai
tempat sembunyi sementara. Tetapi, percakapan kedua pemain sirkus itu tidak
terdengar dari tempat Baron dan Intan.
Tak lama setelah kedua pemain sirkus
itu masuk ke dalam kereta, kereta melaju pelan mengikuti arah rel. Entah rel
kereta tersebut akan berujung di mana.
“Kali ini gawat, Tan.” Baron
menyenggol tangan Intan.
Sementara Bayu dan Vey…
Bayu dan Vey bersembunyi di bawah
kursi penumpang. Di sini gelap. Kereta ini bisa mengangkut sekitar 10 orang.
Kemungkinan besar, kereta ini digunakan untuk hiburan penumpang, layaknya
kereta mini.
Bayu dan Vey memutuskan keluar dari
kereta setelah tidak terdengar suara para pemain sirkus. Tetapi, tiba-tiba 2
orang pemain sirkus masuk ke dalam kereta. Lampu kereta otomatis menyala.
Kereta tiba-tiba berjalan. Bayu dan Vey saling berpandangan.
“Vey, kamu gunakan alat yang
diberikan Baron untuk mendeteksi jalan, agar bila kereta ini tidak balik ke
tempat pertunjukan sirkus, kita masih tau jalan pulang. Selain itu juga agar
Baron dan Intan mengetahui posisi kita nanti. Sementara aku akan merekam
percakapan mereka berdua,” bisik Bayu hati-hati agar kedua pemain sirkus tidak
mendengarnya. Bayu mulai merekam percakapan kedua pemain sirkus tersebut
menggunakan ponselnya. Untung tadi ia membawa ponselnya.
“Kita akan menyimpan batu cahaya itu
di mana, Tut?” tanya pemain sirkus yang berdandan seperti badut. Bayu dan Vey
saling menatap. Batu cahaya. Ya, kedua pemain sirkus itu bekerja sama
mencurinya. Intan hanya lihat satu pencuri kemarin di hutan buatan.
“Aku jatuhkan di kolam lumba-lumba.
Tidak ada yang akan tahu,” jawab pemain sirkus satunya dengan santai.
“Bodoh! Tidakkah ada tempat yang lebih
aman?” Salah satunya memaki. Baru kali ini ada badut yang sekasar dia.
“Aku sengaja saat itu. Jika aku
tidak segera melemparnya, justru aku akan ketahuan. Tapi, tenanglah. Kecuali
malam, batu cahaya itu tidak akan mengeluarkan cahaya. Kita harus mengambilnya
hari ini juga. Lagipula, tidak ada siapa pun di sana saat malam hari,” gerutu
si pemain sirkus.
Saat sedang merekam suara, tiba-tiba
ada panggilan masuk di ponsel Bayu dari ibunya. Celakanya, bunyi ponsel itu
sangat keras. Bayu segera mematikan panggilan itu. Tapi, kedua pemain sirkus
itu terlanjur menyadari keganjilannya. Bayu cepat-cepat memasukkan ponselnya ke
dalam saku. Vey juga memasukkan alatnya ke dalam saku celana tanpa
mematikannya. Mereka berdua berjaga-jaga atas kemungkinan yang terjadi.
“Ketut, suara apa itu tadi?” seru
salah seorang pemain sirkus. Pemain sirkus yang dipanggil Ketut memandang
kawannya. Lalu, ia memeriksa bawah kursinya.
“Hei, mau apa kalian berdua?!”
bentak Ketut pada Bayu dan Vey. Bayu dan Vey yang tertangkap basah saling
memandang dan tersenyum masam. “Somad, kita mendapat kejutan hari ini,” kata
Ketut tersenyum jahat.
Bayu dan Vey ditarik keluar dari
bawah kursi penumpang. Bayu dan Vey berusaha memberontak, tetapi mereka kalah
kuat dari Ketut dan kawannya. Mereka diikat menggunakan tali tambang yang
dikeluarkan Ketut dari sakunya. Untungnya, mulut mereka tidak dibungkam. Mereka
tidak berteriak karena tahu bahwa itu akan percuma. Tidak ada orang yang akan
mendengar teriakan orang dari dalam kereta yang melintas kencang.
Tak lama kemudian, kereta sudah
berhenti di suatu tempat. Sepertinya tempat itu adalah pusat utama sirkus. Bayu
dan Vey dipaksa turun dari kereta. Mereka kira, mereka akan ‘disimpan’ di sana.
Tapi, ternyata mereka dibawa menggunakan mobil Jeep ke suatu tempat.
Ketut dan sekongkolnya duduk di jok
depan, Ketut yang mengemudikan mobil. Sementara Bayu dan Vey diletakkan di
bagasi mobil. Kondisi itu menguntungkan bagi Bayu dan Vey karena mereka bisa
bercakap-cakap.
“Vey, hubungi Bayu tentang kondisi kita.
Jangan lupa beri tau mereka tempat Ketut dan pemain sirkus satunya menyimpan
permata Bu Siti adalah di kolam lumba-lumba,” bisik Bayu.
“Apa perlu aku kirim lokasi saat ini
juga?” tanya Vey.
“Tidak usah. Kita belum sampai ke
tempat tujuan mereka,” jawab Bayu. Vey mengangguk, lalu segera mengirim pesan
pada Intan.
***
Intan sudah menerima pesan dari Vey.
Ia terkejut bukan main.
“Intan dan Bayu diculik, Baron,”
bisik Intan. Baron dan Intan masih bersembunyi di balik kotak. Para pemain
sirkus belum juga pergi. “Dan permata cahaya itu ada di kolam lumba-lumba,”
tambah Intan.
Baron tersentak. “Apa?!” ia berseru
tertahan. “Kita tunggu informasi dari mereka lagi tentang di mana mereka
berada,”tambah Baron.
“Kapan kita mengambil permata cahaya
itu dari kolam lumba-lumba?” tanya Intan.
“Nanti malam. Pasti sore ini, saat
pertunjukan terakhir selesai, lumba-lumba akan dipindah ke tempat sirkus utama.
Setelah lumba-lumba dipindahkan, kita dengan leluasa dapat mengambil permata
cahaya itu. Lagipula, jika kita mencarinya malam-malam, batu itu akan
mengeluarkan cahaya, bukan? Kita akan lebih mudah mencarinya,” jawab Baron.
Intan mengangguk setuju.
Jam menunjukkan pukul 4 sore,
pertunjukan sirkus terakhir hari ini telah selesai. Satu persatu pemain sirkus
sudah pergi. Hewan-hewan diangkut ke mobil bak tertutup untuk dibawa ke tempat
sirkus utama. Saat semua petugas sibuk, Baron dan Intan mengendap-endap keluar
dari tempat sirkus.
Baron dan Intan sudah keluar dari
tempat sirkus. Mereka merenggangkan tangan dan kaki yang pegal setelah beberapa
jam mengamati dari balik kotak. Menurut hasil pengamatan mereka, tidak ada
pemain sirkus yang bersekongkol dengan si pencuri (Baron dan Intan belum tahu
nama si pencuri). Semua tampak biasa saja di belakang panggung pertunjukan
sirkus.
Mereka berdiskusi di markas. Kini,
masalah baru harus mereka selesaikan, yaitu menyelamatkan Bayu dan Vey yang
disekap.
Intan mendapat kabar terbaru dari
Vey. Ternyata, Bayu dan Vey disekap di sebuah rumah kosong. Vey juga sudah
mengirimkan lokasi rumah kosong itu. Baron dan Intan menyiapkan rencana untuk
membebaskan Bayu dan Intan serta mengambil permata cahaya itu.
“Baron, kemungkinan besar si pencuri
akan mengambil permata itu hari ini juga. Ia tahu bahwa menyimpan permata
cahaya di kolam lumba-lumba tidaklah aman,” ujar Intan.
Baron menoleh. Ia menepuk keningnya.
“Kenapa aku tidak kepikiran seperti itu,” keluh Baron. Sedetik kemudian,
wajahnya berubah menjadi cerah. Ia baru saja menyadari sesuatu. “Ya, itu
bagus,” ucap Baron sambil tersenyum kecil.
“Bagus gimana?” tanya Intan bingung.
“Saat malam hari, mereka pasti akan
ke tempat sirkus dan mencari permata cahaya itu. Nah, saat itu pula kita akan
menyelamatkan Bayu dan Vey dari lokasi mereka disekap,” jawab Baron. Ia
mengambil nafasnya sejenak. “Lalu, saat itu kita akan menelpon polisi dan
melaporkan kejadian itu. Maka, si pencuri akan tertangkap saat sedang mengambil
permata cahaya. Beberapa polisi juga ke tempat Bayu dan Vey disekap. Dengan
begitu, si pencuri tertangkap atas dua tuduhan, yaitu pencurian permata cahaya
yang sangat mahal dan penculikan anak,” tambah Baron sambil tertawa kecil.
Intan yang sudah paham ikut tersenyum. Rencana Baron cerdik sekali.
“Rencanamu bagus sekali. Sekarang,
ayo kita kemas barang-barang yang dibutuhkan!” ajak Intan. Baron mengangguk.
Mereka pun mengemas barang-barang yang perlu dibawa ke dalam tas ransel milik
Intan.
Tak lupa Intan menghubungi Vey tentang rencana
Baron. Vey dan Bayu setuju dengan rencana Baron. Bahkan, Bayu dan Vey memuji
rencana cerdik Baron. Vey menginformasikan bahwa saat ini hanya Ketut saja yang
mengawasi mereka. Saat ini, Ketut tertidur. Teledor sekali pencuri sekaligus
penculik yang satu ini. Vey juga menginformasikan bahwa Ketut dan temannya akan
mengambil permata cahaya pada pukul setengah 8 malam.
Ponsel, lampu laser, kompas, pistol,
dan barang lainnya sudah masuk ke dalam ransel. Pistol yang mereka bawa
bukanlah pistol berisi peluru, tetapi berisi cairan yang dapat membuat lawan
tertidur selama beberapa lama. Baron dan Intan sudah siap. Mereka berencana
pergi ke lokasi tempat Bayu dan Vey disekap menggunakan sepeda selepas shalat
Isya. Rumah kosong tempat Bayu dan Vey disekap tidak begitu jauh dari markas.
Setidaknya membutuhkan waktu 45 menit jika menggunakan sepeda.
Jam menunjukkan pukul 19:15. Baron
dan Intan sudah selesai shalat Isya. Mereka tidak lupa berdoa agar dimudahkan
urusannya. Mereka memutuskan untuk berangkat sekarang juga agar tidak
terlambat.
Baron dan Intan menaiki sepeda
masing-masing. Mereka mengayuh sepeda mereka dengan semangat. Baron memimpin di
depan Intan. Sesekali ia melihat aplikasi di ponselnya yang dapat menunjukkan
arah ke lokasi penyekapan Bayu dan Vey.
Semakin lama, semakin cepat mereka
mengayuh sepeda. Intan melirik jam tangannya. Mereka sudah jalan selama 15
menit dan berhasil menempuh sepertiga perjalanan. Mereka berdua sudah merasa
lelah, namun mereka tidak putus semangat.
30 menit kemudian, Baron dan Intan
sudah sampai di depan rumah kosong. Sepertinya rumah kosong itu adalah rumah
tempat Bayu dan Vey disekap. Rumah itu sangat besar tetapi terlihat
menyeramkan, dipenuhi lumut dan coret-coretan alay, dan tampak tidak terurus.
Apalagi ini malam, rumah itu gelap karena tidak ada lampu.
Baron dan Intan meletakkan sepeda di
depan rumah kosong itu. Baron menyalakan senter. Ia mulai masuk ke dalam rumah
kosong diikuti Intan.
“Intan, hubungi Vey!” kata Baron
memecah keheningan.
Intan segera menghubungi Vey.
Tetapi, tidak ada balasan. Intan menatap Baron, lalu menggeleng. “Tapi rumah ini
besar sekali. Kita butuh waktu lama untuk mencari Bayu dan Intan,” ujar Intan.
“Hmm. Kamu menuju kanan, aku kiri,”
ucap Baron saat mereka tiba di persimpangan. Ada dua arah jalan, ke kanan dan
ke kiri. Terlihat koridor sepanjang 27 meter. Terjajar pintu-pintu di sepanjang
koridor.
“Oke,” sahut Intan. Ia mengambil
senter dari tas ranselnya dan menghidupkan senter itu. Ia mulai berbelok ke
arah kanan. Sedangkan Baron berbelok ke arah kiri.
Baron membuka setiap pintu. Tetapi,
dari sekian banyak pintu yang di buka, tidak ada Bayu dan Vey. Kosong. Hanya
beberapa ruangan terdapat bekas minuman keras, ada juga kantung-kantung
plastik. Baron tidak tahu apa isi plastik itu. Saat ini, yang ia cari adalah
Bayu dan Vey.
Tiba di pojok ruangan. Buntu. Ia
tidak menemukan Bayu dan Vey. Ia mengelap pelipis di dahi dan menghubungi
Intan.
“Apa kamu sudah menemukan Bayu dan
Vey, Intan?” tanya Baron.
“Belum. Semua ruangan di koridor
bagian kanan kosong, Baron,” jawab Intan di seberang sana. “Sekarang aku sedang
menuju ke koridor bagian kiri. Kamu pasti sudah menemukan mereka, bukan?”
tambahnya.
“Belum. Jika aku sudah menemukan
mereka, pasti aku tidak bertanya padamu,” kata Baron.
“Apa?! Lalu, kita ke mana?” tanya
Intan terdengar kesal.
“Kita berkumpul di persimpangan tadi,”
kata Baron.
Baron berjalan menuju persimpangan
sambil membuka ulang setiap pintu di koridor itu. Siapa tahu, tadi ia
melewatkan sebuah pintu. Tetapi, tetap tidak ada siapa pun di seluruh ruangan
di koridor.
Baron dan Intan sudah bertemu di persimpangan.
“Ayo, kita kembali ke depan! Siapa
tahu ada pintu yang kita lewatkan,” kata Baron. Intan hanya mengangguk. Mereka
menyenteri dinding.
Tiba-tiba, Intan tersandung sesuatu.
Kakinya terkilir. Baron segera menolongnya.
“Eh, apa itu sebuah pintu, Baron?”
tanya Intan sambil menunjuk ke benda yang membuatnya tersandung saat Baron
memijat pergelangan kakinya. Benda yang membuatnya terjatuh terlihat seperti
gagang pintu. Pintu itu menempel dengan lantai.
Baron melirik ke arah benda itu. Ia
berhenti memijat pergelangan kaki Intan. Ia mencoba membuka pintu itu. Bisa!
Itu adalah pintu menuju ruangan bawah tanah. Ada tangga yang mengarah ke bawah.
“Kakimu masih sakit, Intan? Kalau
masih, kamu tunggu di sini aja,” ucap Baron sambil memijakkan kaki di tangga yang
menuju ke bawah.
“Masih, sih. Tapi kalau hanya turun
tangga, bisa,” ujar Intan.
Baron dan Intan menuruni tangga yang
licin. Ruangan di bawah sangat gelap dan lembap. Setelah beberapa menit,
akhirnya mereka berhasil menyentuh lantai ruangan bawah tanah. Mereka
menyenteri setiap sudut ruangan.
“Vey! Bayu!” seru Intan saat
menemukan Bayu dan Vey sedang diikat dengan tali di pojok ruangan. Intan
berlari ke arah mereka. Baron ikut menyusul.
“Apa kalian baik-baik saja?” tanya
Baron sambil mengambil gunting dari tas ransel yang dibawa Intan. Lalu, ia
menggunting tali yang mengikat Bayu dan Vey. Untungnya, gunting yang mereka
bawa sangat kuat.
“Tidak. Kondisi kami buruk sekali.
Kalian lama sekali! Ketut dan sekutunya bahkan mungkin sekarang sudah menuju ke
sini!” jawab Vey kesal.
Baron segera tersadar. “Intan,
hubungi polisi untuk ke mari dan ke tempat sirkus! Sebaiknya kamu hubungi
Sensus Arif, polisi yang sudah akrab dengan The Twobevi,” kata Baron. Intan
mengangguk dan segera menghubungi polisi.
“Untunglah aku dan Vey diculik oleh
Ketut dan rekannya,” kata Bayu terdengar lega.
“Kok kamu justru senang, sih?!”
tanya Vey gemas.
“Loh, kan kita mendapat banyak
informasi, Vey! Mulai dari tempat mereka menyembunyikan permata cahaya sampai
informasi bahwa mereka adalah pengedar narkoba, juga tukang mabuk!” jawab Bayu.
Detik berikutnya, Vey paham. Ia manggut-manggut setuju.
“Pengedar narkoba?!” seru Baron dan
Intan tidak percaya.
“Iya, kami tadi sempat mendengar
pembicaraan mereka. Vey sudah merekam seluruh percakapan mereka dari awal
sampai akhir. Jadi kami punya bukti,” jawab Bayu santai. Baron dan Intan
tersenyum senang mendengar perkataan Bayu. Kasus ini hampir terselesaikan.
Saat The Twobevi sedang asyik-asyik
berdiskusi, tiba-tiba, Ketut dan rekannya datang sambil membawa golok.
Ternyata, perhitungan Baron salah. Ketut dan rekannya datang lebih dulu dari
polisi. Intan dan Vey menatap ngeri ke arah benda tajam yang para pencuri itu
bawa.
“Hahaha! Kalian anak-anak yang
pintar! Sayangnya, kalian kalah cerdik dengan aku.” Ketut berseru sambil
tertawa jahat. “Apa kalian mencari ini?” tanya Ketut sambil mengeluarkan
permata cahaya dari sakunya, ia tersenyum licik. Permata cahaya itu tampak
bercahaya di tengah gelap hingga membuat mata silau. Ia kembali memasukkan
permata itu ke dalam sakunya.
The Twobevi hanya diam. Jika mereka
melawan, bisa saja Ketut dan rekannya itu langsung menghabisi mereka. Bayu
berdiri di paling depan, melindungi Baron, Vey, dan Intan. Di antara mereka
berempat, Bayu lah yang paling berani dan lincah.
Baron memanfaatkan situasi. Itu salah satu
kehebatannya. Perlahan-lahan ia mundur ke belakang Intan. Ia mengambil pistol
berisi cairan yang dapat membuat tertidur. Ya! Dia berhasil mengambil pistol
itu.
Tepat saat Baron mengarahkan pistol ke arah Ketut
dan rekannya, tiba-tiba para polisi datang. Setidaknya ada 10 orang polisi,
salah satunya adalah Sensus Arif. Sensus Arif memang sudah akrab dengan The
Twobevi karena The Twobevi sudah sering memecahkan kasus.
“Ah, sial!” teriak rekan Ketut. Mukanya merah padam.
“Lepaskan senjata kalian! Angkat tangan!” seru salah
satu polisi. Ketut dan rekannya meletakkan golok mereka dan mengangkat kedua
tangan. Mereka segera diamankan oleh pihak kepolisian.
“Apa kalian punya bukti yang menguatkan?” tanya
Sensus Arif.
“Tentu, Pak,” jawab Vey sambil menyerahkan ponsel
miliknya yang berisi rekaman-rekaman percakapan Ketut dan rekannya kepada Sesus
Arif. Baron maju. Ia menyerahkan topi, foto sidik jari, dan helaian rambut yang
The Twobevi temukan saat penyelidikan. “Oh, iya, permata cahaya itu ada di saku
kanan Ketut,” tambah Vey.
“Bagus sekali,” gumam Sensus Arif. “Selamat, The
Twobevi. Lagi-lagi kalian berhasil memecahkan kasus. Ketut dan Suryo memang
selama ini sudah menjadi buronan, namun kami belum berhasil menangkap mereka.
Kali ini, mereka mencuri batu cahaya yang harganya sangat mahal. Bahkan,
pemilik batu itu di Indonesia bisa dihitung dengan jari,” Sensus Pak Arif.
“Mereka akan segera kami proses,” tambahnya. The Twobevi saling berpandangan,
kemudian tertawa senang.
***
The Twobevi menuju markas. Bayu membonceng Baron dan
Vey membonceng Intan. Jika Baron dan Intan sudah capek, maka Bayu dan Vey akan
menggantikan mereka mengayuh sepeda. Sesekali mereka bercanda.
“Huft, akhirnya kita sudah menyelesaikan kasus ini,
ya!” celetuk Intan senang.
“Iya, lega sekali rasanya. Hmm, karena kita sudah
berhasil menyelesaikan kasus ini, bagaimana jika kita bersama-sama membakar
jagung di belakang markas? Pasti seru,” usul Bayu.
“Aku setuju! Kebetulan, di rumahku ada banyak
jagung. Aku juga punya bumbunya. Nanti aku yang membawa jagung beserta
bumbunya, deh!” ujar Vey.
“Yap, aku juga setuju. Setelah ini, kita ijin ke
orang tua masing-masing dulu,” kata Baron. Bayu, Vey, dan Intan mengangguk
tanda setuju.
45 menit kemudian, The Twobevi sudah sampai di
markas. Setelah beberapa menit mengatur napas, masing-masing anggota pulang ke
rumah untuk meminta ijin pada orang tua.
Baron pulang ke rumah walaupun di sana tidak ada
orang tuanya karena sedang bekerja di luar kota selama beberapa hari. Niatnya,
Baron hanya ingin mengambil jaket untuk menghangatkan tubuh dan senter untuk
berjaga-jaga. Tapi, setelah sampai di rumah, Reysa, adik Baron, memaksa untuk
ikut. Reysa sejak dulu memang ingin bergabung menjadi anggota The Twobevi, tapi
Baron melarang. Selain karena umurnya yang masih terlalu kecil, pasti ia juga
merepotkan. Akhirnya, Baron membawa Reysa ikut serta ke acara dadakan The
Twobevi.
Sementara Bayu, Vey, dan Intan sudah diberi ijin
oleh orang tua masing-masing asalkan tidak pulang terlalu malam. Bayu membawa
korek api, ingat Vey tidak berkata bahwa ia akan membawa korek api. Vey membawa
jagung dan bumbu, orang tuanya mengijinkan. Sementara Intan, ia bingung ingin
membawa apa. Alhasil, hanya ponsel yang ia bawa.
15 menit berlalu dengan cepat. Semua anggota The
Twobevi ditambah Reysa sudah berkumpul di belakang markas. Segera mereka
membagi tugas. Baron dan Bayu mencari kayu bakar di sekitar situ. Tentu saja
banyak, karena belakangnya hutan. Sementara Vey dan Intan membumbui jagung.
Reysa justru hanya melihat kegiatan yang dilakukan anggota The Twobevi.
Akhirnya, semua persiapan sudah siap. Mereka pun
bersama-sama membakar jagung sambil sesekali tertawa karena candaan Reysa.
Hanya Baron yang sejak tadi tidak tertawa.
Tiba-tiba, ponsel Intan bergetar, tanda ada pesan
teks yang masuk. Intan menyalakan ponselnya.
“Dari siapa, Tan?” tanya Vey penasaran.
“Sesus Arif,” jawab Intan sambil membaca isi pesan.
Detik berikutnya, wajahnya menjadi cerah.
“Apa isinya, Tan?” tanya Vey semakin penasaran
melihat perubahan mimik wajah Intan. Intan membaca isi pesan teks dari Sensus
Arif keras-keras agar didengar anggota The Twobevi yang lain. Semua penasaran.
Bahkan, Reysa juga ikut penasaran dan memajang ekspresi yang menggemaskan.
“Yeay! Kita diundang menghadiri acara dan akan
diberi penghargaan!” seru Intan setelah selesai membacakan seluruh isi pesan
teks dari Sensus Arif.
“Yeay!” semuanya berseru senang.
“Tapi kamu tidak, lho, Rey,” ujar Baron. Reysa hanya
memanyunkan bibirnya, yang lain tertawa melihat ekspresi Reysa.