Selamat Datang diblog Desti Balqis

Sabtu, 28 Oktober 2017

Cerpen: Misteri Batu Cahaya



MISTERI BATU CAHAYA

Baron, Bayu, Vey, dan Intan. Mereka berempat merupakan sekelompok detektif cilik yang sudah dikenal di kampong mereka. Kelompok detektif mereka bernama The Twobevi yang merupakan singkatan dari inisial nama mereka berempat yaitu Two B, V, dan I. Mereka sekarang sedang  berkumpul di markas kecil milik mereka. Markas mereka sebenarnya merupakan sebuah gudang milik keluarga Bayu yang direnovasi menjadi sebuah ruangan yang indah. Keluarga Bayu dengan senang bersedia memberikan gudang tersebut kepada The Twobevi. Lagipula, tempat tersebut terlalu jauh dari rumah keluarga Bayu walaupun masih dalam satu desa. Sementara yang merenovasi adalah The Twobevi sendiri.
“Huft, apa kalian tidak bosan?” tanya Baron yang berkali-kali menguap bosan.
            “Aku sangat bosan. Andai saja kita dapat kasus,” jawab Vey sambil memainkan rubiknya.
            Tiba-tiba, ide cemerlang melintas di otak Bayu. “Main di hutan buatan belakang markas kita, yuk!”
            “Main apa?” tanya Intan sambil menuangkan jus jeruk ke gelasnya.
            “Kotak pos,” jawab Bayu.
            Semua setuju. Baron, Bayu, Vey, dan Intan bersama-sama menuju hutan buatan belakang markas mereka dengan semangat sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Hutan buatan itu tidak terlalu besar dan tidak ada hewan buas di dalamnya. 
            “Hompimpa alaium gambreng!” Mereka berempat berhompimpa untuk menentukan siapa yang akan berjaga. Hasil akhir menentukan Baron yang akan berjaga.
            “Baron, kamu harus mencari aku, Vey, dan Intan. Tapi ingat, kamu harus terus menutup matamu. Harus jujur! Jika kamu sudah berhasil menangkap salah satu dari kami, kamu harus menyebutkan nama kami, tetap dengan mata tertutup, ya!” jelas Bayu. “Tenang saja, setelah kamu menghitung satu sampai tiga, kami tidak akan berpindah tempat,” tambahnya.
            Baron mendengus. “Iya, aku sudah tau.”
Mereka berempat memulai permainan. Tubuh Baron diputar sebanyak 3 kali hingga membuatnya pusing. Baron terdiam sesaat untuk menghilangkan rasa pusingnya. “Satu… dua… tiga!” teriak Baron tiba-tiba. Bayu, Vey, dan Intan berlari menuju tempat persembunyian masing-masing. Bayu bersembunyi di balik semak-semak yang tinggi. Badannya tengkurap. Vey bersembunyi di balik pohon. Tubuh Vey yang ramping sepenuhnya tertutup pohon. Sementara Intan  bersembunyi di atas pohon mangga yang tinggi. Gerakannya lincah sehingga mudah baginya untuk memanjat pohon yang tinggi. Sambil bersantai, Intan mengamati Baron dan memetik mangga di sekitarnya
 Baron mengeluh dan menampakkan wajah kesalnya. “Jika seperti ini caranya, aku tidak akan  pernah menangkap satu pun dari kalian!”
Namun, tidak ada satu pun yang membalas ucapan Baron. Bayu, Vey, dan Intan tahu bahwa itu adalah trik Baron untuk memenangkan permainan ini. Jika mereka bersuara, pasti dengan mudah Baron dapat menemukan mereka. Baron memang paling pintar menyerang musuh. Bukan dengan pukulan atau tendangan, tetapi dengan acting-nya.
Tiba-tiba, terdengar gemerisik. Seperti ada orang yang lewat. Bayu, Vey, dan Intan saling berpandangan jarak jauh. Tidak ada satu pun di antara mereka yang sedang bergerak, kecuali Intan yang dari tadi asyik memetik mangga.
Baron terdiam. Ia fokus mendengar suara itu. Suara itu justru semakin lama semakin terdengar. Dia kira, suara itu bersumber dari teman-temannya yang sedang berjalan.
“Hei! Bukankah kalian tidak boleh berpindah tempat?” seru Baron kesal. Tetap tidak ada yang menjawab.
Pandangan Intan menyapu sekeliling. Tiba-tiba, dia melihat seseorang sedang berjalan di semak-semak sambil membawa tas jinjing hitam. Tetapi, tas tersebut terlihat bercahaya, seolah ada benda memancarkan cahaya dari dalam tas hitam itu. Intan mengernyitkan dahi. Matanya menyipit. Tangannya berhenti memetik mangga. Ia fokus memerhatikan seseorang dengan tas hitam memancar tersebut.
Hanya Intan yang dapat melihat orang itu karena posisinya sekarang berada di pohon yang tinggi. Vey dan Bayu masih belum tahu sumber suara itu. Mereka terus memperhatikan Intan dengan tatapan bingung. Sementara Baron, ia masih menunjukkan ekspresi kesal karena tidak dapat menemukan teman-temannya.
“Bayu! Vey! Intan!” teriak Baron. Mendengar teriakan Baron, seseorang itu segera mencari tempat persembunyian. Seseorang itu berlari ke arah pohon yang sedang dipanjat Intan, lalu memanjat pohon tinggi tersebut. Intan menutup mulutnya agar tidak bersuara. Kepala orang itu tepat berada dibawah kakinya. Untung saja orang itu tidak mengetahui keberadaan Intan.
Sosok tersebut membuka tas hitam yang ia bawa. Tampak sebuah benda berbentuk bulat yang memancarkan cahaya. Namun, beberapa detik setelah dikeluarkan dari tas hitam, benda bulat tersebut berhenti memancarkan cahaya. Warnanya putih bening seperti butiran gula dengan ukuran raksasa.
 Intan terkejut. Ia baru pertama kali melihat benda seindah itu seumur hidupnya. Pasti harganya mahal sekali. Hampir saja ia berteriak saking terkejutnya, tapi tangannya tetap menutup mulutnya.
“Bayu! Vey! Intan!” Baron berteriak lebih kencang lagi.
Seseorang di bawah Intan memperhatikan sekitarnya. Ia hanya melihat Baron. Ia segera tersadar bahwa ada orang selain Baron di hutan buatan ini karena Baron tadi meneriakkan nama seseorang. Orang itu segera turun dari pohon dan lari terbirit-birit menuju arah utara. Aneh sekali orang itu, batin Intan. Tetapi sepertinya ini bisa menjadi sebuah kasus. Senyum kecil mengembang di bibir Intan.
Segera Intan turun dari pohon. “Teman-teman, permainan selesai! Ayo kita kembali ke markas kita!” seru Intan.
“Ya, lebih baik begitu karena aku tidak akan dapat menemukan kalian,” ujar Baron sambil membuka matanya dengan ekspresi kesal.
Bayu dan Vey keluar dari tempat persembunyian masing-masing dan berjalan menuju Intan dan Baron. “Tapi kenapa, Tan? Permainannya belum selesai,” tanya Vey.
“Aku baru saja menemukan sesuatu yang ganjil,” jawab Intan.
“Yasudah. Ayo!” ujar Vey dan Bayu meski belum puas bermain.
Sampai di markas, The Twobevi duduk di kursi yang mengelilingi meja. Semua anggota The Twobevi sudah mempunyai kursi masing-masing. Rapat akan dimulai. Seperti inilah biasanya jika The Twobevi mendapat kasus atau menemukan sesuatu yang ganjil.
“Memang ada apa, sih, Tan?” tanya Baron sambil menuangkan jus jeruk ke gelasnya. Kerongkongannya terasa kering setelah berteriak-teriak tadi.
Intan menjelaskan kejadian yang ia alami tadi. Baron, Bayu, dan Vey mengangguk-angguk paham. Bayu dan Vey juga sedikit curiga dengan suara langkah kaki tadi.
“Aku kira suara itu berasal dari salah satu di antara kalian,” celetuk Baron. Bayu, Vey, dan Intan menggeleng.
“Tapi, bagaimana kita akan menyelidiki kasus ini? Bahkan kita pun tidak tahu ke mana orang itu pergi,” kata Vey putus asa.
“Aku yakin kita bisa, kok! Bayu, coba kamu catat yang kita tahu soal kejadian tadi. Siapa tahu berguna,” sahut Intan. Bayu segera membuat daftar berisi hal-hal ganjil tadi.
Besoknya…
The Twobevi rapat untuk membahas kejadian kemarin di hutan buatan. Saat dengan asyik rapat, tiba-tiba pintu markas mereka diketuk. Baron, Bayu, Vey, dan Intan saling berpandangan. Di detik berikutnya, Baron beranjak dari kursinya dan membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah Bu Siti. Rumah Bu Siti berada di dekat markas The Twobevi, hanya dibatasi dengan hutan buatan.
“Oh, Bu Siti. Silakan masuk dulu, Bu,” sambut Baron dengan ramah. Bu Siti duduk di kursi sebelah Intan.
“Ada perihal apa, Bu Siti?” tanya Bayu bersiap-siap mencatat.
“Jadi begini. Sejak seminggu yang lalu, saya bersama keluarga pergi ke Bali dan baru pulang tadi malam. Tetapi tadi pagi, saat saya mencari permata milik saya, benda tersebut tidak ada di lemari saya. Pintu lemari terbuka lebar. Padahal, sebelum berangkat saya ingat sudah mengunci rapat-rapat lemari itu,” jelas Bu Siti. “Sepertinya permata itu dicuri. Apakah kalian bisa membantu saya? Kalian tidak pernah gagal terhadap kasus-kasus pencurian seperti ini,” lanjut Bu Siti.
“Tentu saja kami akan membantu Bu Siti. Lalu, bagaimana ciri-ciri permata tersebut?” tanya Bayu.
“Permata tersebut dapat memancarkan cahaya jika di tempat gelap, tetapi tidak dapat memancarkan cahaya di tempat terang.” Bu Siti mengambil nafas sejenak. Lalu melanjutkan penjelasannya. “Bentuknya bulat, ukurannya sekepalan orang dewasa, dan warnanya bening seperti air.”
 The Twobevi terkaget-kaget. Itu benda yang dilihat Intan kemarin.
“Baik, Bu Siti. Akan segera kami selidiki,” kata Bayu.
***
The Twobevi mengamati rumah Bu Siti. Mereka membagi tugas. Baron memeriksa lemari tempat Bu Siti menyimpan permata bercahaya. Bayu memeriksa tembok dan lantai kamar Bu Siti menggunakan sinar laser. Vey dan Intan mengamati jejak pencuri di sekitar hutan buatan.
            Baron tidak menemukan apa pun. Tidak ada yang aneh dengan lemari Bu Siti. Hanya beberapa bagian berantakan, mungkin ulah sang pencuri. Baron mengambil alat anehnya yang ia buat sendiri. Si Jenius itu memang sangat senang membuat barang-barang aneh. Bahkan, ia pernah menjadi peserta olimpiade fisika termuda di dunia. Ia juga pernah secara tidak sengaja meledakkan laboratorium fisika milik sekolahnya dengan alat yang dibuatnya.
            Kali ini, Baron menggunakan alat pendeteksi sidik jari. Bentuknya tipis seperti kertas HVS.  Hasil deteksinya dapat difoto. Baron mendeteksi sidik jari pencuri di dinding lemari lalu memotretnya.
            Sementara itu, Bayu menemukan jejak-jejak yang ditinggalkan pencuri. Jejak sepatu si pencuri terukir jelas di lantai. Bayu mencatat merk dan ukuran sepatu dari jejak tersebut. Selain itu, ia juga menemukan rontokan rambut di lantai. Ia menyimpan rontokan rambut tersebut di plastik kecil yang steril.
            Selama 5 jam lamanya Baron dan Bayu memeriksa rumah Bu Siti. Tidak ada lagi hal ganjil yang ditemukan mereka. Mereka sudah memeriksa seluruh bagian rumah Bu Siti. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke markas  untuk berdiskusi bersama Vey dan Intan.
            Baron dan Bayu berpamitan dengan Bu Siti. Selepas itu, mereka berdua kembali ke markas The Twobevi.
            “Bagaimana? Di mana akhir jejak si pencuri?” tanya Bayu sambil menutup pintu markas.
            “Tempat pertunjukan sirkus,” jawab Vey datar.
            “Ya. Sepertinya dia adalah salah satu pemain sirkus. Tidak mungkin ia datang ke sana untuk  menonton pertunjukan. Permata itu terlalu mencolok,” timpal Intan.
            “Apakah kalian sudah membeli tiket untuk menonton sirkus?” celetuk Baron.
            “Di saat-saat seperti ini kita akan menonton sirkus?” tanya Bayu sambil menyipitkan matanya.
            “Tentu saja tidak. Saat semua orang sedang sibuk menonton pertunjukan, kita bisa menyelinap untuk menyelidiki,” jawab Baron si Jenius.
            “Iya juga, ya,” gumam Vey. “Baiklah. Besok aku beli tiket. Tadi, aku sempat lihat di papan pengumuman, satu jam yang lalu adalah pertunjukan terakhir,” kata Vey. “Kalian jangan lupa ijin kepada orang tua masing-masing dulu,” tambah Vey. Semua mengangguk setuju
            “Oh, ya, kita juga menemukan ini, tersangkut di batang pohon sebelah rumah Bu Siti,” ujar Intan sambil menyodorkan topi berwarna kuning dengan garis-garis hijau.
***
            Anggota The Twobevi sudah ijin ke orangtua masing-masing. Sekarang, mereka sudah membawa tiket masuk menonton sirkus, Vey yang membayarnya. Mereka berempat berpenampilan layaknya anak-anak yang menonton pertunjukan sirkus biasanya agar tidak dicurigai oleh penjaga.
            Pertama-tama, The Twobevi akan menonton pembukaan sirkus. Setelah semua orang sibuk menonton, mereka akan mengendap-endap masuk ke balik layar sirkus. Mereka yakin tidak akan ada yang curiga melihat tampilan mereka.
            Mereka berempat membagi tugas. Baron dan Intan menonton di tribun sebelah barat, sementara  Bayu dan Vey di tribun sebelah timur. Mereka pun berpencar.
The Twobevi duduk manis seperti penonton-penonton lainnya. Hanya saja, penonton lain asyik memerhatikan pertunjukan, sementara The Twobevi mengamati sekitar. Mencari kejanggalan.
            “Baron, itu orang yang aku lihat di hutan buatan dua hari yang lalu!” seru Intan sambil menunjuk orang yang sedang bermain akrobat. Gerakannya lincah sekali. Pantas saja dia bisa melewati pagar rumah Bu Siti tanpa membukanya.
            “Apa kamu sudah benar-benar yakin, Tan? Kalau kita salah, kita yang akan kena masalah,” tanya Baron memastikan.
            “Iya aku yakin. Ciri-cirinya sama persis. Rambut botak, bertubuh kurus kering, tingginya menjulang, dan kulitnya hitam,” jawab Intan mantap.
            “Oke. Sekarang hubungi Vey dan Bayu. Suruh mereka mengendap-endap masuk ke belakang panggung lewat arah timur. Lalu kita segera ke sebelah barat,” ucap Baron. Intan segera menghubungi Bayu dan Vey menggunakan alat komunikasi berbentuk bola kecil tanpa layar, namun bisa mengeluarkan cahaya seperti layar handphone biasa. Baron yang membuat alat itu.
            Setelah Bayu dan Vey mendapat informasi dari Baron dan Intan, mereka berempat segera menuju ke balik layar panggung. Namun, mereka pergi berdua-dua agar tidak dicurigai. Tentu akan mencolok apabila 4 anak bergerombol. Tidak ada yang menyadari mereka akan memasuk ke balik layar untuk menyelidiki sebuah kasus. Para petugas yang melihat hanya mengira mereka sedang mencari toilet dan memberi tahu letak toilet. Tapi, itu justru memudahkan The Twobevi mencari jalan ke belakang panggung. Ya, toilet berada tepat di sebelah pintu untuk menuju ke belakang panggung.
            Baron dan Intan akhirnya sudah sampai di belakang panggung. Terdapat banyak hewan di sini. Ada singa, harimau, gajah, berang-berang, dan hewan khas sirkus lainnya. Semua di kandang dalam tempat terpisah. Singa yang melihat Baron dan Intan langsung mengaum keras-keras seolah menemukan makanan. Intan hampir saja menjerit, untuk Baron segera menutup mulut Intan rapat-rapat. Mereka berdua segera sembunyi di balik salah satu kotak besar. Entah apa isi kotak besar tersebut.
            “Lalu sekarang kita ke mana?” tanya Intan.
            “Kita masih harus menunggu Vey dan Bayu. Mereka belum tahu persis muka si pencuri,” jawab Baron. Intan mengangguk kecil.
            Tak lama kemudian, Vey dan Bayu sudah datang. Nafas mereka terengah-engah.
            “Kami baru saja di kejar anjing,” ucap Vey sambil menyeka keringat di pelipisnya.
            “Hahaha. Pantas saja lama,” ujar Intan.
            “Lalu, di mana kita akan mencari permata bercahaya itu? Seharusnya kita dapat dengan mudah menemukannya karena batu itu dapat mengeluarkan cahaya yang amat terang,” kata Bayu.
            “Iya, tapi jika dalam gelap. Kalau dalam terang, permata itu tidak akan mengeluarkan cahaya sedikitpun. Kemungkinan besar, permata itu dilapisi fosfor. Fosfor menyerap cahaya saat siang dan mengeluarkan cahaya saat malam,” jelas Baron.
            Tiba-tiba, saat mereka sedang berdiskusi, sekelompok pemain sirkus datang. Spontan, Vey dan Bayu mencari tempat untuk bersembunyi. Hanya kereta kecil yang dapat digunakan untuk bersembunyi. Vey dan Bayu akhirnya bersembunyi di kereta kecil tersebut. Sementara Baron dan Intan masih bersembunyi di balik kotak besar.
            Para pemain sirkus tampak sedang bercakap-cakap. Sepertinya sedang membahas rancangan acara sirkus. Beberapa menit kemudian, 2 orang pemain sirkus memisah dari pemain sirkus lainnya. Yang satu tampak berdandan seperti badut, tidak bisa dilihat wajah aslinya, sementara yang satunya lagi memakai baju besar berwarna paduan kuning biru dan membawa holahup. Mereka berjalan menuju kereta.
            “Baron, lihatlah dua orang itu. Salah satunya adalah si pencuri. Mereka berdua menuju ke kereta. Bayu dan Vey dalam bahaya jika sampai ketahuan,” ujar Intan resah.
            “Tenanglah, mereka bisa bersembunyi di sana,” kata Baron santai sambil memotret 2 orang pemain sirkus yang sedang berjalan sambil mengobrol menuju kereta yang digunakan Bayu dan Vey sebagai tempat sembunyi sementara. Tetapi, percakapan kedua pemain sirkus itu tidak terdengar dari tempat Baron dan Intan. 
            Tak lama setelah kedua pemain sirkus itu masuk ke dalam kereta, kereta melaju pelan mengikuti arah rel. Entah rel kereta tersebut akan berujung di mana.
            “Kali ini gawat, Tan.” Baron menyenggol tangan Intan.
Sementara Bayu dan Vey…
            Bayu dan Vey bersembunyi di bawah kursi penumpang. Di sini gelap. Kereta ini bisa mengangkut sekitar 10 orang. Kemungkinan besar, kereta ini digunakan untuk hiburan penumpang, layaknya kereta mini.
            Bayu dan Vey memutuskan keluar dari kereta setelah tidak terdengar suara para pemain sirkus. Tetapi, tiba-tiba 2 orang pemain sirkus masuk ke dalam kereta. Lampu kereta otomatis menyala. Kereta tiba-tiba berjalan. Bayu dan Vey saling berpandangan.
            “Vey, kamu gunakan alat yang diberikan Baron untuk mendeteksi jalan, agar bila kereta ini tidak balik ke tempat pertunjukan sirkus, kita masih tau jalan pulang. Selain itu juga agar Baron dan Intan mengetahui posisi kita nanti. Sementara aku akan merekam percakapan mereka berdua,” bisik Bayu hati-hati agar kedua pemain sirkus tidak mendengarnya. Bayu mulai merekam percakapan kedua pemain sirkus tersebut menggunakan ponselnya. Untung tadi ia membawa ponselnya.
            “Kita akan menyimpan batu cahaya itu di mana, Tut?” tanya pemain sirkus yang berdandan seperti badut. Bayu dan Vey saling menatap. Batu cahaya. Ya, kedua pemain sirkus itu bekerja sama mencurinya. Intan hanya lihat satu pencuri kemarin di hutan buatan.
            “Aku jatuhkan di kolam lumba-lumba. Tidak ada yang akan tahu,” jawab pemain sirkus satunya dengan santai.
            “Bodoh! Tidakkah ada tempat yang lebih aman?” Salah satunya memaki. Baru kali ini ada badut yang sekasar dia.
            “Aku sengaja saat itu. Jika aku tidak segera melemparnya, justru aku akan ketahuan. Tapi, tenanglah. Kecuali malam, batu cahaya itu tidak akan mengeluarkan cahaya. Kita harus mengambilnya hari ini juga. Lagipula, tidak ada siapa pun di sana saat malam hari,” gerutu si pemain sirkus.
            Saat sedang merekam suara, tiba-tiba ada panggilan masuk di ponsel Bayu dari ibunya. Celakanya, bunyi ponsel itu sangat keras. Bayu segera mematikan panggilan itu. Tapi, kedua pemain sirkus itu terlanjur menyadari keganjilannya. Bayu cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku. Vey juga memasukkan alatnya ke dalam saku celana tanpa mematikannya. Mereka berdua berjaga-jaga atas kemungkinan yang terjadi.
            “Ketut, suara apa itu tadi?” seru salah seorang pemain sirkus. Pemain sirkus yang dipanggil Ketut memandang kawannya. Lalu, ia memeriksa bawah kursinya.
            “Hei, mau apa kalian berdua?!” bentak Ketut pada Bayu dan Vey. Bayu dan Vey yang tertangkap basah saling memandang dan tersenyum masam. “Somad, kita mendapat kejutan hari ini,” kata Ketut tersenyum jahat.
            Bayu dan Vey ditarik keluar dari bawah kursi penumpang. Bayu dan Vey berusaha memberontak, tetapi mereka kalah kuat dari Ketut dan kawannya. Mereka diikat menggunakan tali tambang yang dikeluarkan Ketut dari sakunya. Untungnya, mulut mereka tidak dibungkam. Mereka tidak berteriak karena tahu bahwa itu akan percuma. Tidak ada orang yang akan mendengar teriakan orang dari dalam kereta yang melintas kencang.
            Tak lama kemudian, kereta sudah berhenti di suatu tempat. Sepertinya tempat itu adalah pusat utama sirkus. Bayu dan Vey dipaksa turun dari kereta. Mereka kira, mereka akan ‘disimpan’ di sana. Tapi, ternyata mereka dibawa menggunakan mobil Jeep ke suatu tempat.
            Ketut dan sekongkolnya duduk di jok depan, Ketut yang mengemudikan mobil. Sementara Bayu dan Vey diletakkan di bagasi mobil. Kondisi itu menguntungkan bagi Bayu dan Vey karena mereka bisa bercakap-cakap.
            “Vey, hubungi Bayu tentang kondisi kita. Jangan lupa beri tau mereka tempat Ketut dan pemain sirkus satunya menyimpan permata Bu Siti adalah di kolam lumba-lumba,” bisik Bayu.
            “Apa perlu aku kirim lokasi saat ini juga?” tanya Vey.
            “Tidak usah. Kita belum sampai ke tempat tujuan mereka,” jawab Bayu. Vey mengangguk, lalu segera mengirim pesan pada Intan.
***
            Intan sudah menerima pesan dari Vey. Ia terkejut bukan main.
            “Intan dan Bayu diculik, Baron,” bisik Intan. Baron dan Intan masih bersembunyi di balik kotak. Para pemain sirkus belum juga pergi. “Dan permata cahaya itu ada di kolam lumba-lumba,” tambah Intan.
            Baron tersentak. “Apa?!” ia berseru tertahan. “Kita tunggu informasi dari mereka lagi tentang di mana mereka berada,”tambah Baron.
            “Kapan kita mengambil permata cahaya itu dari kolam lumba-lumba?” tanya Intan.
            “Nanti malam. Pasti sore ini, saat pertunjukan terakhir selesai, lumba-lumba akan dipindah ke tempat sirkus utama. Setelah lumba-lumba dipindahkan, kita dengan leluasa dapat mengambil permata cahaya itu. Lagipula, jika kita mencarinya malam-malam, batu itu akan mengeluarkan cahaya, bukan? Kita akan lebih mudah mencarinya,” jawab Baron. Intan mengangguk setuju.
            Jam menunjukkan pukul 4 sore, pertunjukan sirkus terakhir hari ini telah selesai. Satu persatu pemain sirkus sudah pergi. Hewan-hewan diangkut ke mobil bak tertutup untuk dibawa ke tempat sirkus utama. Saat semua petugas sibuk, Baron dan Intan mengendap-endap keluar dari tempat sirkus.
            Baron dan Intan sudah keluar dari tempat sirkus. Mereka merenggangkan tangan dan kaki yang pegal setelah beberapa jam mengamati dari balik kotak. Menurut hasil pengamatan mereka, tidak ada pemain sirkus yang bersekongkol dengan si pencuri (Baron dan Intan belum tahu nama si pencuri). Semua tampak biasa saja di belakang panggung pertunjukan sirkus.
            Mereka berdiskusi di markas. Kini, masalah baru harus mereka selesaikan, yaitu menyelamatkan Bayu dan Vey yang disekap.
            Intan mendapat kabar terbaru dari Vey. Ternyata, Bayu dan Vey disekap di sebuah rumah kosong. Vey juga sudah mengirimkan lokasi rumah kosong itu. Baron dan Intan menyiapkan rencana untuk membebaskan Bayu dan Intan serta mengambil permata cahaya itu.
            “Baron, kemungkinan besar si pencuri akan mengambil permata itu hari ini juga. Ia tahu bahwa menyimpan permata cahaya di kolam lumba-lumba tidaklah aman,” ujar Intan.
            Baron menoleh. Ia menepuk keningnya. “Kenapa aku tidak kepikiran seperti itu,” keluh Baron. Sedetik kemudian, wajahnya berubah menjadi cerah. Ia baru saja menyadari sesuatu. “Ya, itu bagus,” ucap Baron sambil tersenyum kecil.
            “Bagus gimana?” tanya Intan bingung.
            “Saat malam hari, mereka pasti akan ke tempat sirkus dan mencari permata cahaya itu. Nah, saat itu pula kita akan menyelamatkan Bayu dan Vey dari lokasi mereka disekap,” jawab Baron. Ia mengambil nafasnya sejenak. “Lalu, saat itu kita akan menelpon polisi dan melaporkan kejadian itu. Maka, si pencuri akan tertangkap saat sedang mengambil permata cahaya. Beberapa polisi juga ke tempat Bayu dan Vey disekap. Dengan begitu, si pencuri tertangkap atas dua tuduhan, yaitu pencurian permata cahaya yang sangat mahal dan penculikan anak,” tambah Baron sambil tertawa kecil. Intan yang sudah paham ikut tersenyum. Rencana Baron cerdik sekali.
            “Rencanamu bagus sekali. Sekarang, ayo kita kemas barang-barang yang dibutuhkan!” ajak Intan. Baron mengangguk. Mereka pun mengemas barang-barang yang perlu dibawa ke dalam tas ransel milik Intan.
Tak lupa Intan menghubungi Vey tentang rencana Baron. Vey dan Bayu setuju dengan rencana Baron. Bahkan, Bayu dan Vey memuji rencana cerdik Baron. Vey menginformasikan bahwa saat ini hanya Ketut saja yang mengawasi mereka. Saat ini, Ketut tertidur. Teledor sekali pencuri sekaligus penculik yang satu ini. Vey juga menginformasikan bahwa Ketut dan temannya akan mengambil permata cahaya pada pukul setengah 8 malam.
            Ponsel, lampu laser, kompas, pistol, dan barang lainnya sudah masuk ke dalam ransel. Pistol yang mereka bawa bukanlah pistol berisi peluru, tetapi berisi cairan yang dapat membuat lawan tertidur selama beberapa lama. Baron dan Intan sudah siap. Mereka berencana pergi ke lokasi tempat Bayu dan Vey disekap menggunakan sepeda selepas shalat Isya. Rumah kosong tempat Bayu dan Vey disekap tidak begitu jauh dari markas. Setidaknya membutuhkan waktu 45 menit jika menggunakan sepeda.
            Jam menunjukkan pukul 19:15. Baron dan Intan sudah selesai shalat Isya. Mereka tidak lupa berdoa agar dimudahkan urusannya. Mereka memutuskan untuk berangkat sekarang juga agar tidak terlambat.
            Baron dan Intan menaiki sepeda masing-masing. Mereka mengayuh sepeda mereka dengan semangat. Baron memimpin di depan Intan. Sesekali ia melihat aplikasi di ponselnya yang dapat menunjukkan arah ke lokasi penyekapan Bayu dan Vey.
            Semakin lama, semakin cepat mereka mengayuh sepeda. Intan melirik jam tangannya. Mereka sudah jalan selama 15 menit dan berhasil menempuh sepertiga perjalanan. Mereka berdua sudah merasa lelah, namun mereka tidak putus semangat.
            30 menit kemudian, Baron dan Intan sudah sampai di depan rumah kosong. Sepertinya rumah kosong itu adalah rumah tempat Bayu dan Vey disekap. Rumah itu sangat besar tetapi terlihat menyeramkan, dipenuhi lumut dan coret-coretan alay, dan tampak tidak terurus. Apalagi ini malam, rumah itu gelap karena tidak ada lampu.
            Baron dan Intan meletakkan sepeda di depan rumah kosong itu. Baron menyalakan senter. Ia mulai masuk ke dalam rumah kosong diikuti Intan.
            “Intan, hubungi Vey!” kata Baron memecah keheningan.
            Intan segera menghubungi Vey. Tetapi, tidak ada balasan. Intan menatap Baron, lalu menggeleng. “Tapi rumah ini besar sekali. Kita butuh waktu lama untuk mencari Bayu dan Intan,” ujar Intan.
            “Hmm. Kamu menuju kanan, aku kiri,” ucap Baron saat mereka tiba di persimpangan. Ada dua arah jalan, ke kanan dan ke kiri. Terlihat koridor sepanjang 27 meter. Terjajar pintu-pintu di sepanjang koridor.
            “Oke,” sahut Intan. Ia mengambil senter dari tas ranselnya dan menghidupkan senter itu. Ia mulai berbelok ke arah kanan. Sedangkan Baron berbelok ke arah kiri.
            Baron membuka setiap pintu. Tetapi, dari sekian banyak pintu yang di buka, tidak ada Bayu dan Vey. Kosong. Hanya beberapa ruangan terdapat bekas minuman keras, ada juga kantung-kantung plastik. Baron tidak tahu apa isi plastik itu. Saat ini, yang ia cari adalah Bayu dan Vey.
            Tiba di pojok ruangan. Buntu. Ia tidak menemukan Bayu dan Vey. Ia mengelap pelipis di dahi dan menghubungi Intan.
            “Apa kamu sudah menemukan Bayu dan Vey, Intan?” tanya Baron.
            “Belum. Semua ruangan di koridor bagian kanan kosong, Baron,” jawab Intan di seberang sana. “Sekarang aku sedang menuju ke koridor bagian kiri. Kamu pasti sudah menemukan mereka, bukan?” tambahnya.
            “Belum. Jika aku sudah menemukan mereka, pasti aku tidak bertanya padamu,” kata Baron.
            “Apa?! Lalu, kita ke mana?” tanya Intan terdengar kesal.
            “Kita berkumpul di persimpangan tadi,” kata Baron.
            Baron berjalan menuju persimpangan sambil membuka ulang setiap pintu di koridor itu. Siapa tahu, tadi ia melewatkan sebuah pintu. Tetapi, tetap tidak ada siapa pun di seluruh ruangan di koridor.
            Baron dan Intan sudah bertemu di persimpangan.
            “Ayo, kita kembali ke depan! Siapa tahu ada pintu yang kita lewatkan,” kata Baron. Intan hanya mengangguk. Mereka menyenteri dinding.
            Tiba-tiba, Intan tersandung sesuatu. Kakinya terkilir. Baron segera menolongnya.
            “Eh, apa itu sebuah pintu, Baron?” tanya Intan sambil menunjuk ke benda yang membuatnya tersandung saat Baron memijat pergelangan kakinya. Benda yang membuatnya terjatuh terlihat seperti gagang pintu. Pintu itu menempel dengan lantai.
            Baron melirik ke arah benda itu. Ia berhenti memijat pergelangan kaki Intan. Ia mencoba membuka pintu itu. Bisa! Itu adalah pintu menuju ruangan bawah tanah. Ada tangga yang mengarah ke bawah.
            “Kakimu masih sakit, Intan? Kalau masih, kamu tunggu di sini aja,” ucap Baron sambil memijakkan kaki di tangga yang menuju ke bawah.
            “Masih, sih. Tapi kalau hanya turun tangga, bisa,” ujar Intan.
            Baron dan Intan menuruni tangga yang licin. Ruangan di bawah sangat gelap dan lembap. Setelah beberapa menit, akhirnya mereka berhasil menyentuh lantai ruangan bawah tanah. Mereka menyenteri setiap sudut ruangan.
            “Vey! Bayu!” seru Intan saat menemukan Bayu dan Vey sedang diikat dengan tali di pojok ruangan. Intan berlari ke arah mereka. Baron ikut menyusul.
            “Apa kalian baik-baik saja?” tanya Baron sambil mengambil gunting dari tas ransel yang dibawa Intan. Lalu, ia menggunting tali yang mengikat Bayu dan Vey. Untungnya, gunting yang mereka bawa sangat kuat.
            “Tidak. Kondisi kami buruk sekali. Kalian lama sekali! Ketut dan sekutunya bahkan mungkin sekarang sudah menuju ke sini!” jawab Vey kesal.
            Baron segera tersadar. “Intan, hubungi polisi untuk ke mari dan ke tempat sirkus! Sebaiknya kamu hubungi Sensus Arif, polisi yang sudah akrab dengan The Twobevi,” kata Baron. Intan mengangguk dan segera menghubungi polisi.
            “Untunglah aku dan Vey diculik oleh Ketut dan rekannya,” kata Bayu terdengar lega.
            “Kok kamu justru senang, sih?!” tanya Vey gemas.
            “Loh, kan kita mendapat banyak informasi, Vey! Mulai dari tempat mereka menyembunyikan permata cahaya sampai informasi bahwa mereka adalah pengedar narkoba, juga tukang mabuk!” jawab Bayu. Detik berikutnya, Vey paham. Ia manggut-manggut setuju.
            “Pengedar narkoba?!” seru Baron dan Intan tidak percaya.
            “Iya, kami tadi sempat mendengar pembicaraan mereka. Vey sudah merekam seluruh percakapan mereka dari awal sampai akhir. Jadi kami punya bukti,” jawab Bayu santai. Baron dan Intan tersenyum senang mendengar perkataan Bayu. Kasus ini hampir terselesaikan.
            Saat The Twobevi sedang asyik-asyik berdiskusi, tiba-tiba, Ketut dan rekannya datang sambil membawa golok. Ternyata, perhitungan Baron salah. Ketut dan rekannya datang lebih dulu dari polisi. Intan dan Vey menatap ngeri ke arah benda tajam yang para pencuri itu bawa.
            “Hahaha! Kalian anak-anak yang pintar! Sayangnya, kalian kalah cerdik dengan aku.” Ketut berseru sambil tertawa jahat. “Apa kalian mencari ini?” tanya Ketut sambil mengeluarkan permata cahaya dari sakunya, ia tersenyum licik. Permata cahaya itu tampak bercahaya di tengah gelap hingga membuat mata silau. Ia kembali memasukkan permata itu ke dalam sakunya.
            The Twobevi hanya diam. Jika mereka melawan, bisa saja Ketut dan rekannya itu langsung menghabisi mereka. Bayu berdiri di paling depan, melindungi Baron, Vey, dan Intan. Di antara mereka berempat, Bayu lah yang paling berani dan lincah.
Baron memanfaatkan situasi. Itu salah satu kehebatannya. Perlahan-lahan ia mundur ke belakang Intan. Ia mengambil pistol berisi cairan yang dapat membuat tertidur. Ya! Dia berhasil mengambil pistol itu.
Tepat saat Baron mengarahkan pistol ke arah Ketut dan rekannya, tiba-tiba para polisi datang. Setidaknya ada 10 orang polisi, salah satunya adalah Sensus Arif. Sensus Arif memang sudah akrab dengan The Twobevi karena The Twobevi sudah sering memecahkan kasus.
“Ah, sial!” teriak rekan Ketut. Mukanya merah padam.
“Lepaskan senjata kalian! Angkat tangan!” seru salah satu polisi. Ketut dan rekannya meletakkan golok mereka dan mengangkat kedua tangan. Mereka segera diamankan oleh pihak kepolisian.
“Apa kalian punya bukti yang menguatkan?” tanya Sensus Arif.
“Tentu, Pak,” jawab Vey sambil menyerahkan ponsel miliknya yang berisi rekaman-rekaman percakapan Ketut dan rekannya kepada Sesus Arif. Baron maju. Ia menyerahkan topi, foto sidik jari, dan helaian rambut yang The Twobevi temukan saat penyelidikan. “Oh, iya, permata cahaya itu ada di saku kanan Ketut,” tambah Vey.
“Bagus sekali,” gumam Sensus Arif. “Selamat, The Twobevi. Lagi-lagi kalian berhasil memecahkan kasus. Ketut dan Suryo memang selama ini sudah menjadi buronan, namun kami belum berhasil menangkap mereka. Kali ini, mereka mencuri batu cahaya yang harganya sangat mahal. Bahkan, pemilik batu itu di Indonesia bisa dihitung dengan jari,” Sensus Pak Arif. “Mereka akan segera kami proses,” tambahnya. The Twobevi saling berpandangan, kemudian tertawa senang.
***
The Twobevi menuju markas. Bayu membonceng Baron dan Vey membonceng Intan. Jika Baron dan Intan sudah capek, maka Bayu dan Vey akan menggantikan mereka mengayuh sepeda. Sesekali mereka bercanda.
“Huft, akhirnya kita sudah menyelesaikan kasus ini, ya!” celetuk Intan senang.
“Iya, lega sekali rasanya. Hmm, karena kita sudah berhasil menyelesaikan kasus ini, bagaimana jika kita bersama-sama membakar jagung di belakang markas? Pasti seru,” usul Bayu.
“Aku setuju! Kebetulan, di rumahku ada banyak jagung. Aku juga punya bumbunya. Nanti aku yang membawa jagung beserta bumbunya, deh!” ujar Vey.
“Yap, aku juga setuju. Setelah ini, kita ijin ke orang tua masing-masing dulu,” kata Baron. Bayu, Vey, dan Intan mengangguk tanda setuju.
45 menit kemudian, The Twobevi sudah sampai di markas. Setelah beberapa menit mengatur napas, masing-masing anggota pulang ke rumah untuk meminta ijin pada orang tua.
Baron pulang ke rumah walaupun di sana tidak ada orang tuanya karena sedang bekerja di luar kota selama beberapa hari. Niatnya, Baron hanya ingin mengambil jaket untuk menghangatkan tubuh dan senter untuk berjaga-jaga. Tapi, setelah sampai di rumah, Reysa, adik Baron, memaksa untuk ikut. Reysa sejak dulu memang ingin bergabung menjadi anggota The Twobevi, tapi Baron melarang. Selain karena umurnya yang masih terlalu kecil, pasti ia juga merepotkan. Akhirnya, Baron membawa Reysa ikut serta ke acara dadakan The Twobevi.
Sementara Bayu, Vey, dan Intan sudah diberi ijin oleh orang tua masing-masing asalkan tidak pulang terlalu malam. Bayu membawa korek api, ingat Vey tidak berkata bahwa ia akan membawa korek api. Vey membawa jagung dan bumbu, orang tuanya mengijinkan. Sementara Intan, ia bingung ingin membawa apa. Alhasil, hanya ponsel yang ia bawa.
15 menit berlalu dengan cepat. Semua anggota The Twobevi ditambah Reysa sudah berkumpul di belakang markas. Segera mereka membagi tugas. Baron dan Bayu mencari kayu bakar di sekitar situ. Tentu saja banyak, karena belakangnya hutan. Sementara Vey dan Intan membumbui jagung. Reysa justru hanya melihat kegiatan yang dilakukan anggota The Twobevi.
Akhirnya, semua persiapan sudah siap. Mereka pun bersama-sama membakar jagung sambil sesekali tertawa karena candaan Reysa. Hanya Baron yang sejak tadi tidak tertawa.
Tiba-tiba, ponsel Intan bergetar, tanda ada pesan teks yang masuk. Intan menyalakan ponselnya.
“Dari siapa, Tan?” tanya Vey penasaran.
“Sesus Arif,” jawab Intan sambil membaca isi pesan. Detik berikutnya, wajahnya menjadi cerah.
“Apa isinya, Tan?” tanya Vey semakin penasaran melihat perubahan mimik wajah Intan. Intan membaca isi pesan teks dari Sensus Arif keras-keras agar didengar anggota The Twobevi yang lain. Semua penasaran. Bahkan, Reysa juga ikut penasaran dan memajang ekspresi yang menggemaskan.
“Yeay! Kita diundang menghadiri acara dan akan diberi penghargaan!” seru Intan setelah selesai membacakan seluruh isi pesan teks dari Sensus Arif.
“Yeay!” semuanya berseru senang.
“Tapi kamu tidak, lho, Rey,” ujar Baron. Reysa hanya memanyunkan bibirnya, yang lain tertawa melihat ekspresi Reysa.