Selamat Datang diblog Desti Balqis

Minggu, 01 Juli 2018

Cerpen: Kakakku Seorang Pembohong


Aku sayang kakak.

Namun, kakakku adalah seorang pembohong.

Mentari mengintip dari ufuk timur, membuat langit terlihat indah dengan gradasi berwarna jingga. Ayam jantan berlomba-lomba untuk berkokok. Burung-burung pipit pun tak mau kalah, mereka berkicau nyaring. Suasana pagi ini sangat cerah, secerah hatiku. Sementara itu, para insan di kepadatan kota bersiap memulai petualangan mereka masing-masing. 

Aku dan Kak Arfi, kakakku,  menyantap menu sarapan sederhana buatan Mamak usai membersihkan diri. Meskipun hanya dengan menu yang terbilang sangat sederhana, masakan Mamak tetap paling istimewa. Aku dan Kak Arfi melahap tempe goreng dengan senang hati. Kak Arfi memang sering mengingatkanku untuk senantiasa bersyukur. Lagipula, tak setiap hari kami bisa sarapan seperti ini. Tak jarang pula kami harus berangkat sekolah dengan perut kosong.

Selesai makan, aku dan Kak Arfi berpamitan dengan Mamak untuk segera pergi ke sekolah karena jam sudah menunjukkan pukul 06.50. Tidak lupa Kak Arfi masing-masing membawa sekotak kue untuk dijual kepada teman-temannya di sekolah. Dia memang selalu membantu Mamak mencari uang agar mencukupi kebutuhan sehari-hari kami bertiga.
Jika kau bertanya, di mana bapak kami? Bapak sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu, karena rumah kami kebakaran. Itu juga menjadi alasan utama mengapa sekarang kami hidup susah seperti ini.

“Mak, Arfi dan Dea berangkat dulu, ya! Assalamu’alaikum,” ujar Kak Arfi sambil mencium tangan Mamak. Aku pun melakukan hal yang sama.

“Iya. Hati-hati di jalan, ya! Waalaikumsalam,” ucap Mamak. Aku membalasnya dengan senyuman manis.

Aku dan Kak Arfi berjalan beriringan menuju sekolahku. Kak Arfi akan mengantarku ke sekolah terlebih dulu. Kami memang bersekolah di SD yang berbeda. Kata Kak Arfi, alasannya karena saat mendaftar, kuota murid di sekolahnya sudah penuh.  

“Kakak, Dea capek,” keluhku. Jarak dari rumah ke sekolah memang terbilang jauh. Jika berjalan kaki memerlukan waktu sekitar 15 menit.

“Dea sudah tidak kuat jalan?” tanya Kak Arfi. Aku mengangguk. Peluh sudah mengucur dengan deras di pelipisku.

Kak Arfi tersenyum hangat. “Ya sudah, sini kakak gendong,” kata Kak Arfi sambil berjongkok. “Dea bawa kotak kuenya, ya!”

Aku pun naik ke atas punggung Kak Arfi. Kami berdua menuju sekolahku. Tubuh mungilnya kuat menggendongku.

Akhirnya, aku dan Kak Arfi sampai di depan sekolahku tepat pada pukul 07.05. Gerbang sekolah sudah tertutup dengan sempurna. Aku yang sekarang masih berumur 7 tahun hanya bisa menangis sesenggukan. Sementara itu, Kak Arfi berusaha membujuk Pak Budi, satpam sekolahku, untuk membukakan pintu gerbang.

Setelah berusaha keras membujuk Pak Budi, akhirnya aku diperbolehkan masuk ke sekolah, dengan catatan tidak boleh terlambat datang lagi. Aku tentu menyanggupi persyaratan itu. Aku masuk ke dalam sekolah sambil melambaikan tangan pada Kak Arfi. Kak Arfi balas melambaikan tangan sambil tersenyum manis.

Bangunan sekolahku sangat sederhana. Total kelasnya ada 6, masing-masing kelas 1 sampai kelas. Ada aula, kantin, ruang guru, ruang kepala sekolah, gudang, dan sebuah lapangan multifungsi. Kami biasa menggunakannya untuk upacara, pelajaran olahraga, dan bermain saat istirahat. Tempat itu adalah tempat favoritku.

***

Bel pulang sekolah berdering dengan nyaringnya. Saking kerasnya, bahkan bisa memekakkan telinga orang yang nekat berada di samping bel tersebut. Bersamaan dengan itu, murid-murid sekolahku berlarian keluar sekolah dengan riang, tak terkecuali aku.

Di saat anak-anak lain membeli berbagai makanan yang dijual di depan sekolah, aku hanya terdiam menunggu kedatangan Kak Arfi di depan gerbang. Sebenarnya, aku sangat ingin membeli camilan, namun apa daya? Uang saku pun aku tak punya.

Aku sudah tidak sabar bercerita pada Kak Arfi bahwa aku mendapat nilai sempurna di mata pelajaran Matematika. Kakak pasti akan sangat bangga denganku. Kakak memang terus memotivasiku untuk terus belajar dan semangat bersekolah. Katanya, supaya tidak kalah dengan dia yang selalu mendapat peringkat satu.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Kak Arfi datang juga dengan berjalan tergesa-gesa dan peluh menetes di sekujur tubuhnya, seperti hari-hari biasanya. Aku menyambutnya dengan senyuman termanis. Ia juga membalas dengan senyuman yang serupa, sama manisnya.

“Hmm, Dea lapar?” tanya Kak Arfi. Aku mengangguk.

Kak Arfi mengajakku membeli nasi bungkus di dekat sekolah, dibungkus, dimakan di rumah. Kata kakak, untuk dimakan bersama Mamak juga.

Setelah membeli makanan, kami melanjutkan perjalanan ke rumah. Matahari dengan ganas menyengat pori-pori dan membuat kering tenggorokan. Aku mengeluh. Baju seragamku bahkan sudah basah terkena keringat. Begitu pula dengan Kak Arfi.

“Yaudah, Dea kita duduk dulu, ya?” usul Kak Arfi sambil menggandeng tanganku, masih dengan senyuman manisnya. Aku hanya mengangguk sekenanya karena sudah terlalu lelah.

“Dea haus?” ucap Kak Arfi.

“Iya,” jawabku sambil mengusap keringat.

“Ini, kakak ada minum sedikit,” kata Kak Arfi sambil menyerahkan air mineral gelas.

Aku menerimanya. “Kakak tidak haus?”

“Ah, tidak. Tadi kakak sudah minum,” ujar Kak Arfi. Aku melihatnya menelan saliva. Aku tahu benar, ia sebenarnya belum minum. Ia terlihat sama letihnya denganku, bahkan lebih.

“Benar?” Aku memastikan. Kak Arfi mengangguk mantap. Akhirnya, aku meminum air mineral tersebut.

Lima menit berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah sambil sedikit berbincang-bincang. Aku menceritakan kegiatanku di sekolah hari ini, termasuk mendapat nilai sempurna di Matematika. Kak Arfi terlihat sangat bangga denganku sambil memujiku. Katanya, aku harus tetap semangat belajar, jangan hanya puas dengan hasil yang tadi kudapatkan. Aku menyetujuinya.
Sampai di rumah, kami meletakkan makanan di atas meja makan. Kebetulan, Mamak belum pulang dari kebun. Kak Arfi menyuruhku untuk mandi lalu tidur siang. Namun, aku tak menurutinya karena perutku masih lapar.

“Ya sudah, Dea makan dulu aja. Tapi, jangan dihabiskan. Sisakan untuk Mamak, ya!” ujar Kak Arfi.

“Iya, Kak. Kakak mau makan juga tidak?” tanyaku.

“Tidak, kakak masih kenyang. Dea pasti lapar, kan? Makan saja setengah, Sisakan setengah untuk Mamak,” jawab Kak Arfi.

“Baik, Kak.”

***

Tak terasa, 4 tahun berlalu sejak hari itu. Kini, aku bukan lagi seorang anak kecil berumur 7 tahun. Aku sudah berumur 11 tahun. Aku sudah tidak selugu dulu lagi.
Aku mulai menyadari, bahwa ada yang aneh dengan Kak Arfi. Dia memang masih seperti dulu. Masih selalu tersenyum dalam situasi apa pun, rajin membawa kue ke sekolah untuk dijual, sering menasihatiku untuk selalu semangat belajar, dan menuruti apa yang aku minta. Namun, perlahan aku mulai sadar. Pasti ada rahasia yang ditutup rapat-rapat oleh Kak Arfi.

Pagi itu, masih seperti dulu, Kak Arfi mengantarkanku terlebih dahulu. Kami kali ini berangkat lebih awal dari biasanya. Aku melambaikan tangan dan pura-pura masuk ke dalam sekolah.
Tepat pada saat Kak Arfi membalikkan badan, aku melangkahkan kaki keluar dari sekolah. Aku diam-diam mengikuti Kak Arfi. Sebenarnya, aku bukan tipe murid yang suka membolos. Tapi, untuk kali ini saja, aku ingin tahu kebenarannya.

Aku mengernyitkan dahi ketika melihat Kak Arfi kembali melewati jalan menuju rumah. Bukankah ia seharusnya sekarang berangkat sekolah? Masa ia bolos, padahal saat ini ia sudah duduk dibangku kelas 6, yang seharusnya fokus belajar.

Benar saja dugaanku. Terlihat Kak Arfi dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah. Aku menunggu di balik pohon mangga besar di sebelah rumahku. Hatiku berdebar dengan kencang saking penasarannya. Selain itu, aku juga takut jika tiba-tiba Kak Arfi melihatku membolos sekolah.

Lima menit kemudian, Kak Arfi keluar dari rumah. Seragamnya sudah berganti dengan kaus berwarna putih polos. Ia membawa tiga kotak kue di tangannya. Dengan langkah terburu, ia mulai berjalan. Keherananku semakin menjadi. Aku mengikutinya dari belakang.
Kak Arfi mulai menawarkan kue pada para warga yang melewatinya. Aku mulai paham dengan apa yang dilakukan Kak Arfi. Namun...

Aku terus mengikuti Kak Arfi. Sampai pada saat hari menjelang siang, kausnya sudah benar-benar basah karena keringat. Cuaca siang ini benar-benar panas. Ia singgah di salah satu toko kelontong untuk membeli segelas air mineral dengan sebagian uang labanya. Aku mulai mengingat-ingat, setiap hari sepulang sekolah pasti ia selalu memberiku segelas air mineral karena aku kehausan di jalan. Aku tersenyum tipis.

“Jadi, selama ini Kak Arfi tidak sekolah?” ucapku dalam hati. Ada rasa sedih karena ternyata selama ini Kak Arfi bohong, namun ada rasa haru juga karena ternyata kakaknya itu rela tidak sekolah demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk fasilitas belajarku. Selain itu, aku juga semakin menyadari bahwa ia sangat menyayangiku. Aku tahu, pasti saat ini sebenarnya dia sedang lapar dan haus. Tapi, ia tidak meminum air mineral itu karena akan diberikan padaku nantinya. Aku baru menyadari, banyak beban di balik senyumnya.

Aku berjalan kembali mengikuti Kak Arfi. Ia ternyata kembali ke rumah untuk mengganti kausnya yang sudah basah dengan seragam lagi. Lalu, buru-buru menuju sekolahku.

“Kak Arfi!” panggilku sambil berusaha menyejajarkan langkah kaki Kak Arfi.

Kak Arfi membalikkan badan. Ia tampak begitu terkejut melihatku ada di belakangnya. “Dea?”
Aku memeluknya, sebulir air jatuh dari kelopak mataku, membuat alirannya sendiri. “Kakak adalah pembohong. Kakak pintar sekali berbohong. Kakak ternyata tidak sekolah. Hati kakak ternyata sering bersedih. Kakak ternyata lelah.”

Kak Arfi balas memelukku sambik mengelus rambutku. “Maafkan kakak ya, Dea.”

Aku mengangguk. “Dea sayang kakak.”