Aku
sayang kakak.
Namun,
kakakku adalah seorang pembohong.
Mentari
mengintip dari ufuk timur, membuat langit terlihat indah dengan gradasi
berwarna jingga. Ayam jantan berlomba-lomba untuk berkokok. Burung-burung pipit
pun tak mau kalah, mereka berkicau nyaring. Suasana pagi ini sangat cerah,
secerah hatiku. Sementara itu, para insan di kepadatan kota bersiap memulai
petualangan mereka masing-masing.
Aku
dan Kak Arfi, kakakku, menyantap menu
sarapan sederhana buatan Mamak usai membersihkan diri. Meskipun hanya dengan
menu yang terbilang sangat sederhana, masakan Mamak tetap paling istimewa. Aku
dan Kak Arfi melahap tempe goreng dengan senang hati. Kak Arfi memang sering
mengingatkanku untuk senantiasa bersyukur. Lagipula, tak setiap hari kami bisa
sarapan seperti ini. Tak jarang pula kami harus berangkat sekolah dengan perut
kosong.
Selesai
makan, aku dan Kak Arfi berpamitan dengan Mamak untuk segera pergi ke sekolah
karena jam sudah menunjukkan pukul 06.50. Tidak lupa Kak Arfi masing-masing
membawa sekotak kue untuk dijual kepada teman-temannya di sekolah. Dia memang
selalu membantu Mamak mencari uang agar mencukupi kebutuhan sehari-hari kami
bertiga.
Jika
kau bertanya, di mana bapak kami? Bapak sudah meninggal sejak 3 tahun yang
lalu, karena rumah kami kebakaran. Itu juga menjadi alasan utama mengapa
sekarang kami hidup susah seperti ini.
“Mak,
Arfi dan Dea berangkat dulu, ya! Assalamu’alaikum,” ujar Kak Arfi sambil
mencium tangan Mamak. Aku pun melakukan hal yang sama.
“Iya.
Hati-hati di jalan, ya! Waalaikumsalam,” ucap Mamak. Aku membalasnya dengan
senyuman manis.
Aku
dan Kak Arfi berjalan beriringan menuju sekolahku. Kak Arfi akan mengantarku ke
sekolah terlebih dulu. Kami memang bersekolah di SD yang berbeda. Kata Kak
Arfi, alasannya karena saat mendaftar, kuota murid di sekolahnya sudah penuh.
“Kakak,
Dea capek,” keluhku. Jarak dari rumah ke sekolah memang terbilang jauh. Jika
berjalan kaki memerlukan waktu sekitar 15 menit.
“Dea
sudah tidak kuat jalan?” tanya Kak Arfi. Aku mengangguk. Peluh sudah mengucur
dengan deras di pelipisku.
Kak
Arfi tersenyum hangat. “Ya sudah, sini kakak gendong,” kata Kak Arfi sambil
berjongkok. “Dea bawa kotak kuenya, ya!”
Aku
pun naik ke atas punggung Kak Arfi. Kami berdua menuju sekolahku. Tubuh
mungilnya kuat menggendongku.
Akhirnya,
aku dan Kak Arfi sampai di depan sekolahku tepat pada pukul 07.05. Gerbang
sekolah sudah tertutup dengan sempurna. Aku yang sekarang masih berumur 7 tahun
hanya bisa menangis sesenggukan. Sementara itu, Kak Arfi berusaha membujuk Pak
Budi, satpam sekolahku, untuk membukakan pintu gerbang.
Setelah
berusaha keras membujuk Pak Budi, akhirnya aku diperbolehkan masuk ke sekolah,
dengan catatan tidak boleh terlambat datang lagi. Aku tentu menyanggupi
persyaratan itu. Aku masuk ke dalam sekolah sambil melambaikan tangan pada Kak
Arfi. Kak Arfi balas melambaikan tangan sambil tersenyum manis.
Bangunan
sekolahku sangat sederhana. Total kelasnya ada 6, masing-masing kelas 1 sampai
kelas. Ada aula, kantin, ruang guru, ruang kepala sekolah, gudang, dan sebuah
lapangan multifungsi. Kami biasa menggunakannya untuk upacara, pelajaran
olahraga, dan bermain saat istirahat. Tempat itu adalah tempat favoritku.
***
Bel
pulang sekolah berdering dengan nyaringnya. Saking kerasnya, bahkan bisa
memekakkan telinga orang yang nekat berada di samping bel tersebut. Bersamaan
dengan itu, murid-murid sekolahku berlarian keluar sekolah dengan riang, tak
terkecuali aku.
Di
saat anak-anak lain membeli berbagai makanan yang dijual di depan sekolah, aku
hanya terdiam menunggu kedatangan Kak Arfi di depan gerbang. Sebenarnya, aku
sangat ingin membeli camilan, namun apa daya? Uang saku pun aku tak punya.
Aku
sudah tidak sabar bercerita pada Kak Arfi bahwa aku mendapat nilai sempurna di
mata pelajaran Matematika. Kakak pasti akan sangat bangga denganku. Kakak
memang terus memotivasiku untuk terus belajar dan semangat bersekolah. Katanya,
supaya tidak kalah dengan dia yang selalu mendapat peringkat satu.
Beberapa
menit menunggu, akhirnya Kak Arfi datang juga dengan berjalan tergesa-gesa dan
peluh menetes di sekujur tubuhnya, seperti hari-hari biasanya. Aku menyambutnya
dengan senyuman termanis. Ia juga membalas dengan senyuman yang serupa, sama
manisnya.
“Hmm,
Dea lapar?” tanya Kak Arfi. Aku mengangguk.
Kak
Arfi mengajakku membeli nasi bungkus di dekat sekolah, dibungkus, dimakan di
rumah. Kata kakak, untuk dimakan bersama Mamak juga.
Setelah
membeli makanan, kami melanjutkan perjalanan ke rumah. Matahari dengan ganas
menyengat pori-pori dan membuat kering tenggorokan. Aku mengeluh. Baju
seragamku bahkan sudah basah terkena keringat. Begitu pula dengan Kak Arfi.
“Yaudah,
Dea kita duduk dulu, ya?” usul Kak Arfi sambil menggandeng tanganku, masih
dengan senyuman manisnya. Aku hanya mengangguk sekenanya karena sudah terlalu
lelah.
“Dea
haus?” ucap Kak Arfi.
“Iya,”
jawabku sambil mengusap keringat.
“Ini,
kakak ada minum sedikit,” kata Kak Arfi sambil menyerahkan air mineral gelas.
Aku
menerimanya. “Kakak tidak haus?”
“Ah,
tidak. Tadi kakak sudah minum,” ujar Kak Arfi. Aku melihatnya menelan saliva.
Aku tahu benar, ia sebenarnya belum minum. Ia terlihat sama letihnya denganku,
bahkan lebih.
“Benar?”
Aku memastikan. Kak Arfi mengangguk mantap. Akhirnya, aku meminum air mineral
tersebut.
Lima
menit berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah sambil sedikit
berbincang-bincang. Aku menceritakan kegiatanku di sekolah hari ini, termasuk
mendapat nilai sempurna di Matematika. Kak Arfi terlihat sangat bangga denganku
sambil memujiku. Katanya, aku harus tetap semangat belajar, jangan hanya puas
dengan hasil yang tadi kudapatkan. Aku menyetujuinya.
Sampai
di rumah, kami meletakkan makanan di atas meja makan. Kebetulan, Mamak belum
pulang dari kebun. Kak Arfi menyuruhku untuk mandi lalu tidur siang. Namun, aku
tak menurutinya karena perutku masih lapar.
“Ya
sudah, Dea makan dulu aja. Tapi, jangan dihabiskan. Sisakan untuk Mamak, ya!”
ujar Kak Arfi.
“Iya,
Kak. Kakak mau makan juga tidak?” tanyaku.
“Tidak,
kakak masih kenyang. Dea pasti lapar, kan? Makan saja setengah, Sisakan
setengah untuk Mamak,” jawab Kak Arfi.
“Baik,
Kak.”
***
Tak
terasa, 4 tahun berlalu sejak hari itu. Kini, aku bukan lagi seorang anak kecil
berumur 7 tahun. Aku sudah berumur 11 tahun. Aku sudah tidak selugu dulu lagi.
Aku
mulai menyadari, bahwa ada yang aneh dengan Kak Arfi. Dia memang masih seperti
dulu. Masih selalu tersenyum dalam situasi apa pun, rajin membawa kue ke
sekolah untuk dijual, sering menasihatiku untuk selalu semangat belajar, dan
menuruti apa yang aku minta. Namun, perlahan aku mulai sadar. Pasti ada rahasia
yang ditutup rapat-rapat oleh Kak Arfi.
Pagi
itu, masih seperti dulu, Kak Arfi mengantarkanku terlebih dahulu. Kami kali ini
berangkat lebih awal dari biasanya. Aku melambaikan tangan dan pura-pura masuk
ke dalam sekolah.
Tepat
pada saat Kak Arfi membalikkan badan, aku melangkahkan kaki keluar dari
sekolah. Aku diam-diam mengikuti Kak Arfi. Sebenarnya, aku bukan tipe murid
yang suka membolos. Tapi, untuk kali ini saja, aku ingin tahu kebenarannya.
Aku
mengernyitkan dahi ketika melihat Kak Arfi kembali melewati jalan menuju rumah.
Bukankah ia seharusnya sekarang berangkat sekolah? Masa ia bolos, padahal saat
ini ia sudah duduk dibangku kelas 6, yang seharusnya fokus belajar.
Benar
saja dugaanku. Terlihat Kak Arfi dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah. Aku
menunggu di balik pohon mangga besar di sebelah rumahku. Hatiku berdebar dengan
kencang saking penasarannya. Selain itu, aku juga takut jika tiba-tiba Kak Arfi
melihatku membolos sekolah.
Lima
menit kemudian, Kak Arfi keluar dari rumah. Seragamnya sudah berganti dengan
kaus berwarna putih polos. Ia membawa tiga kotak kue di tangannya. Dengan
langkah terburu, ia mulai berjalan. Keherananku semakin menjadi. Aku
mengikutinya dari belakang.
Kak
Arfi mulai menawarkan kue pada para warga yang melewatinya. Aku mulai paham
dengan apa yang dilakukan Kak Arfi. Namun...
Aku
terus mengikuti Kak Arfi. Sampai pada saat hari menjelang siang, kausnya sudah
benar-benar basah karena keringat. Cuaca siang ini benar-benar panas. Ia
singgah di salah satu toko kelontong untuk membeli segelas air mineral dengan
sebagian uang labanya. Aku mulai mengingat-ingat, setiap hari sepulang sekolah
pasti ia selalu memberiku segelas air mineral karena aku kehausan di jalan. Aku
tersenyum tipis.
“Jadi,
selama ini Kak Arfi tidak sekolah?” ucapku dalam hati. Ada rasa sedih karena
ternyata selama ini Kak Arfi bohong, namun ada rasa haru juga karena ternyata
kakaknya itu rela tidak sekolah demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk
fasilitas belajarku. Selain itu, aku juga semakin menyadari bahwa ia sangat
menyayangiku. Aku tahu, pasti saat ini sebenarnya dia sedang lapar dan haus.
Tapi, ia tidak meminum air mineral itu karena akan diberikan padaku nantinya.
Aku baru menyadari, banyak beban di balik senyumnya.
Aku
berjalan kembali mengikuti Kak Arfi. Ia ternyata kembali ke rumah untuk
mengganti kausnya yang sudah basah dengan seragam lagi. Lalu, buru-buru menuju
sekolahku.
“Kak
Arfi!” panggilku sambil berusaha menyejajarkan langkah kaki Kak Arfi.
Kak
Arfi membalikkan badan. Ia tampak begitu terkejut melihatku ada di belakangnya.
“Dea?”
Aku
memeluknya, sebulir air jatuh dari kelopak mataku, membuat alirannya sendiri. “Kakak
adalah pembohong. Kakak pintar sekali berbohong. Kakak ternyata tidak sekolah.
Hati kakak ternyata sering bersedih. Kakak ternyata lelah.”
Kak
Arfi balas memelukku sambik mengelus rambutku. “Maafkan kakak ya, Dea.”
Aku
mengangguk. “Dea sayang kakak.”